Trem Mester-Pasar Ikan

Sabtu, 30 Januari 2010








Trem Uap Abad 19







Trem lijn (jurusan) I baru tiba di halte (terminal) Meester (Kampung Melayu) dari Pasar Ikan. Sang masinis turun untuk minum secangkir kopi di depan terminal yang berhadapan dengan bioskop Nusantara (kini jadi pertokoan) itu. Sementara, sang kondektur tengah menghitung duit logam picisan (10 sen) yang bentuknya sedikit lebih kecil dari uang Rp 50. uang hasil narik dari Pasar Ikan ke Mester.Satu persatu penumpang rebutan naik. Hanya dalam beberapa menit trem sudah penuh. Tapi, sang masinis yang rambutnya cepak meniru rambut Tony Curtis, bintang Hollywood yang kesohor ketika itu, belum naik ke lokomotif. Rupanya sang masinis masih menikmati kopi dan ngobrol bersama rekan-rekannya. Di gerbong yang padat seperti KRL, beberapa penumpang dengan beragam dandanan dan kebanyakan berpakaian baru karena habis lebaran, mulai tidak sabar."Trem ayo jalan," teriak seorang penumpang yang disusul dengan penumpang lainnya.

Seorang bapak berpakaian baju tikim warna hitam dan kopiah hitam muncul. "Assalamu'alaikum", teriaknya dan satu persatu penumpang diajaknya berjabat tangan. Disambut para penumpang dengan senyum. Beberapa pemuda yang mengenakan pakaian jengki dan berjaket meniru gaya aktor James Dean dalam film Giant tertawa terkekeh-kekeh. Termasuk sang kondektur.Untungnya, ada seorang bapak yang ingin ziarah ke Luar Batang di Pasar Ikan tak tega melihatnya. "Pak, gak usah salaman. Terompanya juga jangan dilepas. Ini bukan masigit.Tapi kendaraan kita, warisan Belanda.

Neng-neng-neng-neng.

Trem mulai melaju. Kemudian berhenti di Pasar Jatinegara. Seorang nyonya Cina naik membawa sekeranjang barang untuk dijual kembali di warungnya. Menyusul beberapa orang ibu berkain batik, berkebaya dan berkerudung, masuk ke trem. Mereka mau ke CBZ (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo - RSCM). Mau bezoek temannya yang keseruduk oplet. Untung lukanya tidak parah, hanya besot-besot dan lecet-lecet. Tidak sampai geger otak. Setelah melewati Salemba dan Gang Kenari, trem kemudian berhenti di halte Kramat depan bioskop Rivoli. Bioskop ini tengah memutar film Awara, yang dibintangi Raj Kapoor dan Nargis. Raj Kapor adalah ayah Rishi Kapoor, bintang 1970-an. Keduanya pernah datang ke Indonesia. Kini cucu-cucu Raj Kapoor, seperti Kharisma dan Kharina Kapoor, menjadi artis papan atas di Bollywood.

Neng-neng-neng-neng.

Trem berhenti di depan bioskop Grand. Manusia tampak berdesak-desakan untuk antre karcis. Maklum yang diputar film cowboy High Noon dengan aktor Carry Cooper. Mereka yang tak kuat ngantre terpaksa beli karcis catutan. Grand bioskop didirikan tahun 1920-an tidak lama setelah berakhirnya film gagu (tanpa suara). Kemudian trem berhenti di halter Pasar Senen. Banyak penumpang turun ingin belanja di Toko Baba Gemuk (kini pertokoan Ramayana) yang terkenal ketika itu. Ketika menyelusuri Jl Tanah Nyonya (kini bagian Jl Senen Raya) trem berhenti. Ada becak yang jalan pelahan di depannya. "Hai becak! Apa lu kagak bisa minggir," teriak kondektor sewot. Tukang becak menjawab dengan adem, "Gua sih bisa. Lu yang kagak."

Ketika tiba di Pasar Baru, kembali penumpang yang naik dan turun saling serobot. Banyak ibu-ibu yang turun ingin belanja di Toko De Zon (kini Toko Matahari). Dimulai dari Pasar Baru, pertokoan Matahari kini memiliki ratusan toko di seluruh Indonesia. Kala itu, Pasar Baru merupakan pertokoan paling bergengsi di Jakarta. Dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota lama di Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan shopping warga Barat dibukalah Pasar Baru dan sejumlah bioskop di dekatnya. Setelah melawati Pecenongan dan Sawah Besar, trem membelok ke Gang Ketapang. Setelah melintasi Olimo di Jl Hayam Wuruk, trem berhenti di halte Lindeteves tidak jauh dari China Town (Glodok). Lindeteves adalah nama salah satu dari lima perusahaan besar Belanda, disamping Borsumij, Geowehry, Internatio dan Van Gorkom. Kelima perusahaan inilah yang mengatur ekspor impor dan distribusi bahan-bahan pokok ke seluruh Nusantara. Kelimanya diambil alih 19567 ketika hubungan RI - Belanda memburuk karena sengketa Irian Barat (Papua).

Neng-neng-neng-neng.

Memasuki Glodok yang sejak dulu selalu hiruk-pikuk, trem sering tehenti karena padatnya lalu lintas. Terutama becak yang membelok seenaknya. Di tempat yang sekarang terdapat pertokoan Harco dulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Cina, terutama cerita jago-jago silat Bu Tong Pay dan Siaw Liem Soen. Banyak penumpang turun di Glodok bukan untuk nonton film, tapi membeli obat-obatan Cina. Ada belasan sinshe dan rumah obat Cina terdapat di sini. Di sekitar sinilah dua surat kabar Cina berbahasa Melayu rendah Keng Po dan Sinpo dicetak. Trem kemudian melewati Beos (Stasiun KA) dan Gedung Bicara (bekas kantor walikota VOC) yang kemudian menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta. Kemudian sampailah trem di perhentian terakhir halte Kota Inten di Pasar Ikan. Inten adalah nama benteng yang didirikan VOC. Orang piknik ke Pasar Ikan untuk menyaksikan akuarium, tempat muda-mudi tempo doloe berpacaran. Sebagai oleh-oleh dari Pasar Ikan orang membeli congklak, bijinya dari kerang. Atau membeli akar bahar untuk mereka yang kena rematik.


Sumber : Alwi Shahab

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi