Kue Pengantin Betawi: Pantangan Dilanggar, Kue Gagal

Kamis, 21 Januari 2010


Kebanyakan pembuat dodol adalah laki-laki. Soalnya, butuh tenaga lumayan besar saat pengadukan.

Pelestarian kuliner nusantara memerlukan kepedulian generasi muda. Hal itu disadari oleh pasangan suami-istri Nawiyah (35) dan Ahmad Rido (40). Mereka meneruskan usaha sang ibu (almarhumah) Hj Idop dalam membuat jajanan hantaran pengantin Betawi, seperti kue geplak, kue wajik, kue lapis pepe, uli, tape ketan, dan dodol betawi.
Beberapa jenis kue memang sering kita lihat di pasar, seperti kue pepe (kue lapis dari tepung sagu), tape, dan ketan uli. Namun untuk geplak dan dodol sudah agak jarang yang membuatnya. Mungkin karena tingkat kesulitannya tinggi dan banyak tata cara dalam membuat panganan tersebut.
"Membuat dodol dan geplak banyak pantangannya. Percaya tidak percaya, kalau dilanggar bisa tidak jadi kuenya," kata Ahmad Rido, atau yang akrab disapa Edo, ketika ditemui di rumah sekaligus warungnya di Tegal Rotan, Bintaro.
Biasanya panganan itu khusus dipesan untuk hantaran pengantin Betawi. Ada juga yang pesan untuk hajatan (selamatan). Jadi, pembuatannya berdasarkan pesanan.
Hanya dodol yang paling sering dibuat, meski tidak ada pesanan. Paling tidak dua hari sekali Edo memproduksinya dan dijual per kilogram. Kemasannya sengaja dibuat tidak terlalu besar. Pada bulan Puasa, 15 hari menjelang Lebaran pembuatan dodol mulai meningkat. Adapun pesanan sudah harus dilakukan sebulan sebelumnya.
Biasanya, untuk pesanan hantaran pengantin, kemasannya memakai tenong (wadah bulat terbuat dari anyaman bambu) berukuran 15 x 15 cm atau 20 x 20 cm. Selagi panas langsung dicetak di wadah yang telah dialasi plastik bening. Harganya antara Rp 75.000 dan Rp 150.000.
Dodol Betawi buatan Nawiyah terasa legit, tetapi tidak terlalu manis. Kadar rasa manis bisa dipesan sesuai selera. Begitu juga dengan geplak dan lainnya. Dodol terbuat dari beras ketan yang digiling lalu ditambahkan gula merah dan  santan kelapa yang diambil patinya. Pembuatannya memakan waktu hingga tujuh jam.

Dipukul
Geplak dibuat dari beras yang agak pera lalu digiling menjadi tepung dan disangrai, dicampur dengan kelapa parut yang juga sudah disangrai sebelumnya. Kemudian adonan itu dicampur dengan gula pasir yang sudah dicairkan hingga agak mengental dan selagi panas diaduk-aduk hingga menjadi adonan yang padat.
"Agak repot memang, apalagi dalam kondisi panas (meski awalnya pakai centong) harus diaduk dengan tangan. Baru kemudian dicetak di tenong atau wadah lalu diratakan dengan tangan, dengan setengah dipukul, karenanya disebut dengan geplak," tutur Nawiyah.
Supaya tidak lengket di tangan, di atas permukaan geplak ditaburi tepung giling yang disangrai, lalu didiamkan selama 2 jam sampai mengeras. Penampilannya jadi cukup menarik. Kue ini, meski kelihatan kokoh, tapi saat dimakan sangat empuk dan gampang hancurnya. Rasanya manis gurih. Tersedia dalam ukuran tenong 15 x 15 cm dan 20 x 20 cm harganya Rp 50.000-Rp 100.000.
Ketahanan kue geplak bila di suhu ruangan bisa sampai 3 hari, sedangkan di dalam kulkas bisa sampai seminggu dan akan semakin renyah. Adapun dodol bisa sampai tiga minggu di suhu ruang.
Pembuatan wajik pun tidak jauh beda dengan dodol dan geplak. Bahan dasarnya  beras ketan yang direndam selama 6 jam supaya empuk, lalu dicampur dengan kelapa yang sudah disangrai, gula merah, dan santan. Semua bahan diaduk di atas api hingga dua jam sampai tanak. Harga per loyang Rp 50.000-Rp 100.000.
Selain itu, mereka juga menerima pesanan kue pepe. Dibuat sesuai selera pemesan. Ada yang minta berlapis dengan warna merah putih atau hijau putih. Ada juga yang pesan cokelat semua, hanya lapisannya diberi kelapa muda sebagai variasi. Kue ini dikukus dan butuh kesabaran dalam membuatnya. Tersedia dalam ukuran 15 x 15 cm dengan harga Rp 35.000 dan ukuran 20 x 20 cm Rp 50.000.
Warung kue Nawiyah tidak terlalu besar. Selain menerima pesanan kue, juga menjual gado-gado dan laksa. Lokasinya berada di seberang Pasar Bintaro Jaya.

Pantangan
Usaha pembuatan kue hantaran khas Betawi ini dirintis Idop pada tahun 1987. Mulanya hanya coba-coba. Saat ada yang mau hajatan lalu minta dibuatkan, Idop menyanggupinya. Lama kelamaan, itu menjadi usaha yang serius.
Dari ketiga anak Idop, hanya Nawiyah yang mengembangkan bakat membuat kue tersebut. Sebagai penerus, Nawiyah mengembangkan usaha ini dibantu sang suami. "Pesan ibu cuma satu, yaitu harus menjaga kualitas dan memberikan layanan yang terbaik untuk pelanggan. Kami harus selalu ramah juga," ujar ibu empat anak ini.
Pantangan dan tata cara selama pembuatan kue juga harus diikuti. Meski agak sulit diterima akal, imbuh Nawiyah, hal itu bisa menggagalkan pembuatan kue jika dilanggar.
Seperti pada saat membuat dodol, biasanya ada "syaratnya" yakni disiapkan cabai merah dan bawang yang ditusuk dengan lidi, serta uang logam Rp 500 yang direndam di dalam air. Selama bahan dodol masih berbentuk adonan, si pengaduk tidak boleh punya pikiran negatif atau membicarakan yang jelek-jelek, tidak boleh banyak berbicara, tidak boleh kesal. Mendengar berita buruk seperti ada orang yang meninggal juga tidak diperbolehkan. "Makanya saya suka kejam sama anak kecil. Kasarnya mereka enggak boleh dekat-dekat kalau lagi membuat adonan," kata Rido.
Kebanyakan pembuat dodol memang laki-laki. Soalnya, butuh tenaga lumayan besar saat pengadukan. Dodol dimasak dalam kuali besar di atas bara arang. Diaduk dengan kayu yang berbentuk seperti dayung. Kalau hanya setengah kuali bisa dikerjakan dua orang, tetapi kalau penuh, paling tidak harus ada tiga orang yang mengerjakannya.
Rido menuturkan, dodol itu disebut juga dengan kue bacot (dalam bahasa Betawi artinya pembicaraan). Jika seorang besan datang dengan dodol yang bagus dan banyak jumlahnya, berarti termasuk orang kaya. Kalau dilihat tampilan dodolnya kurang baik maka akan jadi bahan pembicaraan pula. Ada-ada saja!

Warung Hj Idop/Nawiyah
Jalan Tegal Rotan 7 A, Bintaro
Telepon: 97965131

Sumber : Warta Kota/Dian Anditya M

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi