Menggali Jejak Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid

Sabtu, 13 Februari 2010





Kawasan sekitar bangunan Stasiun Kereta Api Jakarta Kota atau dahulu disebut Stasiun Batavia Selatan. Gambar ini menunjukkan kondisi tahun 1930, saat stasiun ini baru saja dioperasikan.


DALAM sejarah perkeretaapian di Indonesia, pembangunan jalur kereta api di Jakarta baru dimulai tahun 1870. Jalur pertama yang dibikin Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) ini menghubungkan Kleine Boom di Pelabuhan Sunda Kelapa ke Koningsplein (Gambir). Di tahun 1873, NISM membuka jalur Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Di Batavia, stasiun pusat kala itu adalah Station Batavia. Stasiun inilah yang kemudian dikenal sebagai Batavia Noord (Batavia Utara) dan letaknya kini ada di sekitar gedung BNI 46 Jakarta Kota.

Selain jalur Batavia-Buitenzorg, perusahaan Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (BOSM) juga membuka jalur baru yang mengantarkan penduduk dari Batavia ke Bekassie, Caravam (Karawang), bahkan hingga ke Bandung. Stasiun milik BOSM itu kemudian diperkirakan menjadi alasan mengapa nama Beos muncul. Meski ada alasan lain yang mungkin lebih tepat yaitu bahwa jalur ini disebut sebagai jalur yang melayani Batavia En Omstreken – BEOs (Batavia dan sekitarnya). Stasiun ini dikenal juga dengan nama Batavia Zuid (Batavia Selatan).

Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh perusahaan kereta api negara (Staatsspoorwegen- SS). Batavia Zuid malah sudah menjual jalurnya kepada SS pada 1898 hingga ditutup sekaligus dibongkar pada sekitar 1926 untuk kemudian menjadi stasiun utama bernama Station Batavia Benedenstad (pada 8 Oktober 1929) atau kini menjadi Stasiun Jakarta Kota. Meski demikian, nama Beos masih juga melekat pada stasiun tersebut. Sementara itu, pada tahun 1929, Station Batavia Noord berhenti beroperasi dan kemudian bangunannya dibongkar.

Untuk merayakan 80 tahun Stasiun Jakarta Kota bikinan arsitek FJL Ghijsels itu, maka pada Minggu 8 November mendatang PT KA bersama Indonesian Railway  Preservation Society (IRPS) dan Sahabat Museum akan menggelar acara Plesiran Tempo Doeloe di Stasiun BEOS (Stasiun Jakarta Kota).  Acara dimulai pukul 07.30 dan peserta dikenai biaya Rp 75.000/orang. Pendaftaran dilakukan ke Sahabat Museum via email ke adep@cbn.net.id.

“Kita akan jalan kaki menelusuri jejak bekas Station Batavia Zuid dan Batavia Noord. Jadi kita akan jalan ke belakang gedung BNI 46, ke halaman belakang Museum Sejarah Jakarta sampai ke Kantor Pajak. Bekas rel masih ada yang kelihatan, tapi sudah banyak yang hilang karena di sana kan jadi permukian padat,” jelas Ade Purnama, Ketua Sahabat Museum.

Selain IRPS, acara ini juga akan diisi oleh penampilan ludruk yang mengangkat tema Pelancong Djadoel, penjelasan Stasiun Jakarta Kota dari sisi arsitektur oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), serta film dokumenter tentang kereta api di tahun 1929.

Seperti pernah ditulis sebelumnya, Johan Louwrens (FJL) Ghijsels adalah arsitek Belanda yang bangunannya banyak yang masih tegak berdiri di tanah bekas Batavia ini. Selain Stasiun BEOS, di Kalibesar, anak Belanda kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur, itu menorehkan karya dalam bentuk Kantor John Peet & Co yang sekarang jadi PT Toshiba dan gedung Kantor Maintz & Co yang sekarang PT Samudera Indonesia.

Di Jalan Kunir, di tempat yang kini tertutup pagar seng dan sepertinya dibiarkan tak terpakai, bisa Anda intip ada bangunan megah di dalamnya. Itu adalah bekas gedung Geo Wehry & Co. Gedung Geo Wehry yang didesain Ghijsels juga masih berdiri di Kota Lama Padang, Sumatra Barat. Hanya saja kondisinya jauh lebih buruk dari gedung  Geo Wehry di Jalan Kunir, Jakarta Barat. Bangunan lain yang juga populer dan masih digunakan adalah RS Pelni Petamburan, Jakarta Pusat, yang dulunya adalah Rumah Sakit KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Gedung KPM lain ada di Jalan Medan Merdeka Selatan, kini menjadi Kantor Departemen Perhubungan Laut, Gereja Katolik Meester Cornelis (Gereja Katolik St Yoseph di Matraman, Jakarta Timur), dan Gereja Protestan Paulus di Menteng.

Ghijsels memang tak bekerja sendirian. Ia tergabung dalam Algemeen Ingenieur Architectenbureau atau Algemeen Ingenieur Architecten (AIA) -  sebuah biro umum sipil dan arsitektur yang didirikan pada tahun 1916.


Sumber :
Pradaningrum Mijarto ( Warta Kota )

Dari Prinsen Straat ke Prinsen Park


Prinsen Straat (sekarang Jalan Cengkeh) di tahun 1860-an dengan Gerbang Amsterdam di kejauhan.

PERNAH dengar nama Prinsen Park? Kini namanya menjadi Lokasari, Mangga Besar, Jakarta Barat. Prinsen Park tak ada hubungan dengan Prinsen Straat. Itu juga jika Anda sekalian pernah dengar ada nama jalan tersebut. Prinsen Straat, Prince Street, kini menjadi Jalan Cengkeh, Jakarta Barat. Jalan Cengkeh berada di lingkaran utama kawasan Kota Tua Jakarta.Dari Prinsen Straat, akan terlihat Amsterdam Poort (Amsterdam Gate) di kejauhan. Di tahun 1867, fotografer  Jacobus Anthonie Meesen mengabadikan Prinsen Straat dengan Gerbang Amsterdam di kejauhan. Ia mengambil gambar dari titik pertemuan Prinsen Straat, Pasar Pisang, dan Leeuwinnen Straat (kini Jalan Cengkeh, Jalan Kalibesar Timur 3, dan Jalan Kunir). 


Posisi Gerbang Amsterdam berhadap-hadapan dengan stadhuis atau balai kota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta (MSJ).Pendatang dari Eropa yang mengunjungi Batavia melalui laut sebelum 1885 –  ketika Tanjungpriok selesai dibangun – akan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa dan melintas di sepanjang sisi selatan Prinsen Straat. Mereka akan terus melaju ke arah selatan menuju Weltevreden. Di tahun 1860-an jalan ini merupakan salah satu jalanan sibuk dengan kegiatan bisnis dan perdagangan, khususnya di siang hari. Di malam hari kawasan ini sepi karena para pekerja yang kebanyakan orang Eropa memilih tinggal di “kota atas”, Weltevreden.Hingga abad 20, kawasan Prinsen Straat atau Jalan Cengkeh berisi berbagai kantor, gudang, dan bangunan bisnis milik bangsa Eropa.Gerbang Amsterdam, demikian ditulis Scott Merrllees dalam Batavia in The Nineteenth Century Photograhps, merupakan satu-satunya peninggalan dari Kastil Batavia yang dihancurkan  Daendels pada sekitar 1808-1809. Gerbang itu merupakan pintu masuk Kastil Batavia sisi selatan dan terletak di sisi utara dari stadhuis. Amsterdam Poort pertama kali dibangun pada abad 17. Sampai abad 19, gerbang ini terus mengalami perubahan. Misalnya, di zaman Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff yang berkuasa pada 1743-1750, gerbang itu berganti gaya menjadi Rococo.

Di abad 18 itu juga, sayap gerbang berbentuk melengkung yang dihubungkan dengan bangunan yang membentuk bagian benteng. Ketika Daendels menghancurkan kastil, hanya gerbang ini yang selamat. Pada 1840-an gerbang itu dibangun kembali dengan patung Mars dan Minerva yang dipasang di sisi kiri dan kanan gerbang bagaikan sepasang penjaga. Lain kisah dengan Prinsen Park yang adalah tempat hiburan beken pada masanya. Di lokasi yang kurang lebih seperti pasar mala mini, ada bioskop, restoran, tempat nonton komedi stamboel, dll.Sayangnya kemudian Prinsen Park dilebur menjadi kawasan Lokasari yang meskipun ingin mencoba mirip dengan Prinsen Park, tetap saja yang muncul adalah kesan hiburan “remang-remang”. Kumpulan kuliner di sana bisa dibilang oke tapi tempat hiburannya, apalagi di malam hari, sudah tak lagi bisa menampung anak-anak atau orang dewasa yang ingin menonton kesenian. Kesenian dalam arti yang sebenarnya, tentu saja. Bagaimanapun, tempat-tempat tadi layak jadi alternatif jalan-jalan murah di akhir pekan ini. Berharap saja udara sedikit bersahabat.


Sumber : 
Pradaningrum Mijarto
http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2010/01/23/14254437/dari.prinsen.straat.ke.prinsen.park.#

'Naar Boven' ke Tanahabang, Jangan Lupa Membatik


Tanah Abang dilihat dari dataran tinggi Weltevreden dengan Trem Elektrik milik Bataviasche Elektrische Tram Maatschappi.


LORD George Macartney, sempat mampir ke Batavia di sekitar akhir abad 18, tepatnya di tahun 1793. Ia bahkan sempat menikmati pesta yang luar biasa mewah, anggur Madera (Madeira) – anggur beken asal Portugis – pun tak henti dituang bagi duta pertama Inggris untuk China itu. Pergelaran wayang China dan atraksi kembang api yang bagaikan letusan gunung api menambah meriah suasana. Dan pastinya, yang tak terlewatkan, dansa dansi sampai pagi.

Demikian sepenggal kisah Lord Macartney di Batavia, dalam rangka menuju China. Rangkaian kegiatan di Batavia ditulis Macartney dalam sebuah jurnal. Jurnal itu ditulis ulang oleh Junus Nur Arif dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe. Ketika kapal Lion, kapal yang ditumpangi Macartney mendekat ke daratan, pejabat Belanda pun sibuk menyambut. Pesta hingga subuh itu digelar di rumah kediaman seorang anggota dewan Belanda, Wiegerman. Kediaman Wiegerman berada di luar Kota Batavia, di kawasan yang disebut udik, bernama Tebanang, De Nabang, atau Tanahabang. Dari Batavia ke Tenabang, orang biasa menyebut, naar boven.

Dalam beberapa referensi tentang sejarah Tanahabang, nama Tanahabang mulai muncul di abad 17. Diduga, nama itu berasal dari tentara Mataram yang datang menyerbu VOC di Batavia tahun 1628.  Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Kawasan ini juga dialiri Kali Krukut. Di masa itu yang namanya Tanahabang meliputi hingga kawasan Weltevreden, Molenvliet West sampai Rijswijk.

Sebuah foto dari tahun 1875, koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribbean Studies)  atau Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, menunjukkan gardu penjagaan yang berbentuk seperti kotak lengkap dengan dua nama di pojok kiri dan kanan atas yaitu Tanahabang dan Rijswijk. Di masa itu, rumah gardu memang dibangun pada jarak-jarak tertentu.

Referensi lain menyebutkan, nama Tanahabang resmi digunakan setelah Jawatan Kereta Api membangun stasiun kereta api di tahun 1890. Stasiun itu kemudian diberi nama Tanahabang, bukan Tenabang (dari De Nabang, nama sejenis pohon yang banyak tumbuh di daerah itu) seperti yang selalau disebutkan warga kala itu.














Tanah Abang West (Jl Abdul Muis) di sisi kiri ada kanal, tahun 1860-an.



Kawasan luas itu memerlukan lalulintas penghubung, yaitu kanal. Satu nama yang tak bisa dilupakan dalam pembuatan kanal di Batavia adalah Kapitan China Phoa Bing Gam. Pada 1648 ia menggali terusan di Molenvliet sampai ke Kali Ciliwung di sisi timur, ke barat hingga ke ujung Kebon Sirih – kini got yang mengalir di sepanjang Jalan Tanah Abang Timur/Abdul Muis.

Tak hanya urusan kanal, Bing Ham juga mengupayakan perkebunan tebu dan pengolahan gula. Dari sinilah muncul pula pabrik arak. Dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Bondan Kanumoyoso mencatat,  di Batavia ada dua perusahaan dagang milik Belanda yang memproduksi minuman beralkohol (arak), RF Van der Mark dengan pabrik minuman mengandung alkohol (Batavia Arak Maatschappij) dan Handels Vereeniging dengan pabrik Oost-Indie minuman beralkohol (Arak Fabriek Aparak).

Kisah tentang Tanahabang pastinya lumayan bertumpuk. Ada satu kisah tentang sebuah gedung yang semula dimiliki warga Prancis dan kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942, bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1947, rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial. Tahun 1952 Depsos justru membelinya dan bulan Oktober 1975 diserahkan ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Museum yang di bagian depannya masih saja dihiasi pedangang kaki lima, dan berada di kawasan kumuh di Jalan Petamburan, itu tak lain adalah Museum Tekstil.

Di sini, pengunjung bisa melihat koleksi alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional) serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada. Selain itu tersimpan pula Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon dan kain adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Tak ketinggalan koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam. Di museum ini pengunjung juga bisa belajar membatik.


Sumber : Pradaningrum Mijarto ( Warta Kota )

Kucir Thaucang, Kwa-Thaucang, dan Plaatgramophone







Kucir thaucang










TIO Tek Hong, pria Tionghoa peranakan biasa kelahiran Pasar Baru yang sudah mengirup udara Batavia sejak 7 Januari 1877. Ia bukanlah siapa-siapa, sebelum akhirnya meluncurkan karya kisah kenangan, Kenang-kenangan: Riwajat-hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang. Karya itu terbit tahun 1959. Melalui karya itu, ia seperti mengizinkan generasi di masa kini bahkan mendatang, meminjam matanya untuk melihat Jakarta di abad 19 hingga pertengahan abad 20. Lebih tepat lagi, menengok bagaimana warga Tionghoa peranakan menjalani hidup di masa itu.
Masa kecil Tek Hong dihabiskan layaknya anak lain, bermain di sungai, mengadu gundu, dll. Di masa kecilnya, ia menggambarkan, kali yang mengalir di Pasar Baru sebagai kali favoritnya untuk berenang hingga ke Gunung Sahari. Tak hanya Batavia yang diceritakan Tek Hong, tapi juga sebagain Jawa, kota-kota di mana ia pernah singgah berlibur.
Ada satu kisah yang menarik ihwal perbedaan warga Tionghoa peranakan di Surabaya dan Betawi di tahun 1905. Menurut Tek Hong, Tionghoa peranakan di Surabaya mengungguli Tionghoa di Betawi dalam banyak hal. Sebut saja dalam hal berupaya, berusaha sehingga di Surabaya ia kagum bisa bertemu pemimpin muda yang sudah punya toko besar. Kaum pria Tionghoa di Surabaya sudah mengenakan jas buka dan dasi serta pandai berbahasa Tionghoa dalam dialek Hokkian. Pada saat yang sama di Batavia, pria Tionghoa masih memakai baju tuikhim (baju tanpa kerah) dan celana komperang. Di baju tuikhim itu ada kantong titou yang biasa untuk menyelipkan kuncir rambut (thaucang).
Thaucang adalah rambut di bagian belakang kepala anak laki-laki yang dipelihara dalam bentuk bundar. Bundaran itu diberi nama serabi. Sejak usia 10 tahun anak laki-laki memelihara “serabi” tadi dan jika rambut “serabi” sudah panjang, rambut itu dikepang menggunakan sutera kuncir berwarna merah.
Tradisi thaucang, menurut Tek Hong, dimulai tatkala orang Manchu menduduki Tiongkok pada 1644. Kaisar Manchu mewajibkan orang Tiongkok memakai thaucang, mengenakan pakaian yang ujung lengannya berupa kaki kuda sehingga saat berlutut orang-orang ini bagaikan kuda. Sebuah penghinaan. Jadi thaucang sejatinya adalah sebuah penghinaan tapi kemudian menjadi tradisi yang bertahan selama tiga abad. Di Batavia, tulis Tek Hong, potong thaucang terjadi pada 1911.
Kwa-thaucang atau potong thaucang terjadi setelah terbentuk perkumpulan Tiong Hoa Bin Kok pada 1911. Sebelumnya sudah ada pesan dari Peking bahwa memotong kuncir tidak diizinkan tapi tidak dilarang.
Tio Tek Hong tak lupa menceritakan perihal pas jalan yang berlaku bagi orang asing. Ini menyulitkan karena warga selain Eropa diwajibkan membawa pas jalan jika bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Maka warga Tionghoa terpelajar minta persamaan hak dengan warga Belanda, setelah dapat persamaan, di zaman Belanda mereka kembali menjadi “Tionghoa” karena takut diganyang Jepang.
Ia juga terkenal dengan plaatgramophone. Pasalnya, di tahun 1902 bersama saudaranya, tio Tek Tjoe, ia membuka toko di Pasar Baru dengan nama NV Tio Tek Hong. Mulai tahun 1904 toko ini sudah mendatangkan phonograph memakai rol lilin dan setahun kemudian plaatgramophone dari toko Tio Tek Hong sudah mengisi ruang-ruang se-Indonesia memperdengarkan lagu-lagu Melayu, keroncong, stambul, dan lain sebagainya.
Barangkali, menjelang Imlek, ada yang ingin bernostalgia ke Pasar Baru? Masih banyak bangunan lama, toko lama dari zaman Tio Tek Hong. Sebut saja Toko Lie Ie Seng, toko peralatan kantor dan tulis menulis; Toko Sin Lie Seng, toko sepatu tenar di masanya; Toko Jamu Nyonya Meneer; dan Toko Kompak yang adalah bekas toko Tio Tek Hong. Selain toko dan bangunan tua, di Pasar Baru ini terdapat satu kelenteng tua yang mungkin kurang beken dibandingkan beberapa vihara lain di kawasan Kota Tua, Kelenteng atau Vihara Sin Tek Bio.

Sumber : Pradaningrum Mijarto ( Warta Kota )

Legenda Kampung Gedong

Senin, 01 Februari 2010







Landhuis Goeneveld di Tanjung Gedong tahun 1880 (KITLV)








Trah Van Riemsdjik di Groeneveld

Lama-lama gedung itu dikenal dengan sebutan Gedong.
Kondisi bangunan itu tampak sangat memprihatinkan. Selain hanya berupa puing reruntuhan, di dalam reruntuhan yang sudah tidak beratap ini kini dipenuhi puluhan pohon pisang dan tanaman merambat lainnya. Lumut pun  telah menutupi sebagian besar dinding bata reruntuhan setinggi tujuh meter tersebut. Letaknya yang diapit bangunan asrama berlantai tiga membuat reruntuhan bangunan ini semakin tidak "terlihat". Kondisinya semakin diperparah dengan keberadaan tempat sampah besar serta kandang ayam yang terletak di halaman reruntuhan. Sejak terjadi kebakaran besar yang menimpa bangunan ini pada tahun 1985, kondisi bangunan yang terletak dalam area Asrama Polri di jalan Gedong persis tusuk sate Jalan Condet Raya, kampung Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur ini memang sangat memprihatinkan. Padahal, dari reruntuhan bangunan ini nama kampung Gedong bermula.Mulanya, kawasan yang berada di dekat perempatan pasar Rebo, Jakarta Timur ini bernama Tanjung Timur. Tapi karena keberadaan bangunan inilah, masyarakat Betawi dahulu lebih akrab menyebut kawasan ini dengan nama Kampung Gedong. "Jadi sejak tahun 1800an, warga Batavia lebih mengenal Tanjung Timur dengan nama kampung gedong. Sebab ada satu bangunan besar(gedung, red) milik tuan tanah yang berdiri di tengah-tengah tanah pertanian dan perkebunan milik tuan tanah Belanda yang mendominasi wilayah ini" ujar sesepuh kampung Gedong, Wak Djejeh, 70 tahun kepada VIVAnews, pekan lalu.Meski hanya bangunan tingkat dua, namun karena letaknya yang berada di dataran tinggi membuat bangunan tersebut tampak dari kejauhan seperti gedung megah yang tinggi. Ditambah kondisi kawasan sekitar yang masih rimbun ditumbuhi berbagai pepohonan, membuat keberadaan bangunan tinggi satu-satunya tersebut menonjol di wilayah tersebut. Sebelum terbakar, Wak Djejeh menuturkan bahwa bangunan ini merupakan gedung yang sangat megah. Bangunan bergaya Eropa klasik yang memiliki luas 100 meter ini diapit oleh dua menara besar tiga lantai. Lantai dasar menara digunakan sebagai penjara bawah tanah untuk pemberontak.Bangunan utama berlantai dua memiliki empat ruang kamar besar di tiap lantainya. Hingga tahun 1980an, halaman sekitar gedung masih dipenuhi pohon besar seperti pohon Asem dan Gandaria. Di halaman depan gedung, terdapat meja batu yang biasa dipergunakan sebagai tempat menanam kepala kerbau untuk keperluan sesajen pada masa itu. Sejarah mencatat, kawasan kampung Gedong awalnya bernama tanah partikelir Tanjoeng Oost (Tanjung Timur). Pemilik kawasan pertama adalah tuan tanah bernama Pieter van de Velde asal Amersfoort, Belanda. Di situlah pada tahun 1750 ia membangun villa yang digunakan sebagai tempat perisitirahatan (Landhuis). Memang keberadaannya yang jauh dari pusat kota Batavia, membuat kawasan Tanjung Timur(sekarang kampung Gedong) dan sekitarnya menjadi tempat favorit untuk membangun gedung peristirahatan serta mengelola tanah pertanian. Gedung ini kemudian diberi nama Goeneveld, yang berarti lapangan hijau. Nama ini disesuaikan dengan pemandangan sekelilingnya yang masih hijau. Pada masa itu, awalnya belum ada perkampunan pribumi. Wilayah ini hanya berupa lahan kosong yang ditumbuhi beragam pohon besar. Kawasan Tanjung Timur dan gedung ini tahun demi tahun mengalami pergantian kepemilikan. Tapi Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat saat dikelola oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Usahanya pun dilanjutkan oleh menantunya, Tjalling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara yang menikah dengan putri Daniel Cornelius, Dina Cornelia.Ament melanjutkan usaha mertuanya dengan meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi.Produksi susunya sangat terkenal di Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld dihuni keturunan Van Riemsdjik. Kawasan ini Tanjung Timur pun lambat laun mulai dihuni oleh sejumlah pribumi.Pasca kemerdekaan, bangunan ini berubah fungsi menjadi asrama dari pegawai hotel hingga asrama polisi. "Petugas polisi lalu lintas mulai menempati bangunan ini pada tahun 1963" ujar Wak Djejeh yang mengaku pernah menghuni bangunan ini. Seiring pesatnya pembangunan, kawasan ini lambat laun mulai dipadati oleh perumahan warga.Saat kebakaran yang terjadi pada tahun 1985, gedung ini sedang digunakan sebagai asrama polisi. Usai peristiwa kebakaran, kepemilikan gedung inipun diambil alih oleh Pemda. Sedangkan area sekitar gedung, dibangun asrama polisi. "Walau sudah diambil alih oleh Pemda, tapi tidak pernah ada perawatan dari Pemda" ujar Djejeh.Saat ini kampung Gedong telah menjadi kelurahan dalam Kecamatan Pasar Rebo. Sebelah utara kampung Gedong berbatasan dengan kelurahan Tengah, Kramat Jati. Sebelah Selatan berbatasan dengan sungai Ciliwung Tanjung Barat.Sedangkan sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Rambutan, Ciracas dan sebelah selatan berbatasan dengan Cijantung. Karena lokasinya yang strategis, membuat kawasan ini dipadati gedung-gedung perkantoran sehingga warga asli banyak yang telah pindah tempat tinggal di selatan Jakarta."Warga asli sini udah banyak yang pindah entah kemana" ujar Wak Djejeh.


Sumber : Maryadie, Zaky Al-Yamani



Gedung Kesenian Warisan Raffles

Sabtu, 30 Januari 2010




Jembatan Pasar Baru, Jakarta Pusat diabadikan pada 1880

Jembatan Pasar Baru, Jakarta Pusat diabadikan pada 1880. Di samping kanannya tampak Gedung Kesenian yang dibangun pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816). Dimasa kolonial bernama shouburg. Jalan raya disebelah kiri Pasar Baru dulu bnernama Schoolweg atawa Jalan Sekolah. Karena pada awal abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda mendirikan beberapa sekolah diantaranya Europese Lager School yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang Belanda.Tampak jalan-jalan masih diterangi oleh lampu gas. Lampu gas mulai nongol di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1863. Pertama kali menerangi Istana Risjwijk (kini Istana Negara) pada Oktober 1863, satu tahun setelah berdirinya Perusahaan Gas Hindia Belanda di Gang Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di sebelah kiri Jl Gajah Mada dari arah Harmoni. Kini menjadi Perum Gas Negara. Gas menggantikan minyak tanah dan lilin untuk penerangan di rumah-rumah, kantor, pusat perdagangan dan perhotelan.Dalam foto terlihat bagaimana asrinya sekitar Pasar Baru dan Lapangan Banteng dengan pohon-pohon asem di kiri kanan jalan. Sementara kendaraan bermotor belum tampak. Juga tidak terdapat para pedagang kaki lima yang kini mendominasi trotoar di sekitar Pasar Baru hingga Lapangan Banteng dan Jl Gunung Sahari.Gedung Kesenian di Pasar Baru semula hanya terbuat dari bambu beratapkan rumbia. Tentara Inggris membangunnya khusus untuk tempat pementasan perkumpulan drama mereka ketika bercokol di Jawa (1811-1816). Para prajurit Inggris sesuai dengan pimpinannya Sir Thomas Raffles, sangat menyukai kesenian. Buktinya, setahun setelah mereka mendarat di Batavia sejumlah perwira bujangan sudah menyalurkan bakat dan minat mereka.Pada malam peresmian Gedung Kesenian dipentaskan drama Othello karya sastrawan terkemuka William Shakespeare. Seperti juga bioskop yang muncul akhir abad ke-19, penonton pria dan wanita dipisah. Pada zaman Jepang (1942-1945), acara-acara di Gedung Kesenian diisi seniman muda seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, H.B. Yassin, Soeryo Soemanto, D. Djayakjuysumah, Kusbini dan Cornel Simanjuntak.Pada 29 Agustus 1945 di gedung ini berlangsung sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) semacam parlemen sekarang. Dihadiri Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Ketua KNIP Kasman Singodimedjo dari Partai Masyumi. Seorang turis Eropa yang datang ke Batavia setelah peresmian menilai gedung kesenian ini tidak kalah menariknya dari gedung kesenian serupa di Eropa.

Sumber :

Trem Mester-Pasar Ikan








Trem Uap Abad 19







Trem lijn (jurusan) I baru tiba di halte (terminal) Meester (Kampung Melayu) dari Pasar Ikan. Sang masinis turun untuk minum secangkir kopi di depan terminal yang berhadapan dengan bioskop Nusantara (kini jadi pertokoan) itu. Sementara, sang kondektur tengah menghitung duit logam picisan (10 sen) yang bentuknya sedikit lebih kecil dari uang Rp 50. uang hasil narik dari Pasar Ikan ke Mester.Satu persatu penumpang rebutan naik. Hanya dalam beberapa menit trem sudah penuh. Tapi, sang masinis yang rambutnya cepak meniru rambut Tony Curtis, bintang Hollywood yang kesohor ketika itu, belum naik ke lokomotif. Rupanya sang masinis masih menikmati kopi dan ngobrol bersama rekan-rekannya. Di gerbong yang padat seperti KRL, beberapa penumpang dengan beragam dandanan dan kebanyakan berpakaian baru karena habis lebaran, mulai tidak sabar."Trem ayo jalan," teriak seorang penumpang yang disusul dengan penumpang lainnya.

Seorang bapak berpakaian baju tikim warna hitam dan kopiah hitam muncul. "Assalamu'alaikum", teriaknya dan satu persatu penumpang diajaknya berjabat tangan. Disambut para penumpang dengan senyum. Beberapa pemuda yang mengenakan pakaian jengki dan berjaket meniru gaya aktor James Dean dalam film Giant tertawa terkekeh-kekeh. Termasuk sang kondektur.Untungnya, ada seorang bapak yang ingin ziarah ke Luar Batang di Pasar Ikan tak tega melihatnya. "Pak, gak usah salaman. Terompanya juga jangan dilepas. Ini bukan masigit.Tapi kendaraan kita, warisan Belanda.

Neng-neng-neng-neng.

Trem mulai melaju. Kemudian berhenti di Pasar Jatinegara. Seorang nyonya Cina naik membawa sekeranjang barang untuk dijual kembali di warungnya. Menyusul beberapa orang ibu berkain batik, berkebaya dan berkerudung, masuk ke trem. Mereka mau ke CBZ (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo - RSCM). Mau bezoek temannya yang keseruduk oplet. Untung lukanya tidak parah, hanya besot-besot dan lecet-lecet. Tidak sampai geger otak. Setelah melewati Salemba dan Gang Kenari, trem kemudian berhenti di halte Kramat depan bioskop Rivoli. Bioskop ini tengah memutar film Awara, yang dibintangi Raj Kapoor dan Nargis. Raj Kapor adalah ayah Rishi Kapoor, bintang 1970-an. Keduanya pernah datang ke Indonesia. Kini cucu-cucu Raj Kapoor, seperti Kharisma dan Kharina Kapoor, menjadi artis papan atas di Bollywood.

Neng-neng-neng-neng.

Trem berhenti di depan bioskop Grand. Manusia tampak berdesak-desakan untuk antre karcis. Maklum yang diputar film cowboy High Noon dengan aktor Carry Cooper. Mereka yang tak kuat ngantre terpaksa beli karcis catutan. Grand bioskop didirikan tahun 1920-an tidak lama setelah berakhirnya film gagu (tanpa suara). Kemudian trem berhenti di halter Pasar Senen. Banyak penumpang turun ingin belanja di Toko Baba Gemuk (kini pertokoan Ramayana) yang terkenal ketika itu. Ketika menyelusuri Jl Tanah Nyonya (kini bagian Jl Senen Raya) trem berhenti. Ada becak yang jalan pelahan di depannya. "Hai becak! Apa lu kagak bisa minggir," teriak kondektor sewot. Tukang becak menjawab dengan adem, "Gua sih bisa. Lu yang kagak."

Ketika tiba di Pasar Baru, kembali penumpang yang naik dan turun saling serobot. Banyak ibu-ibu yang turun ingin belanja di Toko De Zon (kini Toko Matahari). Dimulai dari Pasar Baru, pertokoan Matahari kini memiliki ratusan toko di seluruh Indonesia. Kala itu, Pasar Baru merupakan pertokoan paling bergengsi di Jakarta. Dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota lama di Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan shopping warga Barat dibukalah Pasar Baru dan sejumlah bioskop di dekatnya. Setelah melawati Pecenongan dan Sawah Besar, trem membelok ke Gang Ketapang. Setelah melintasi Olimo di Jl Hayam Wuruk, trem berhenti di halte Lindeteves tidak jauh dari China Town (Glodok). Lindeteves adalah nama salah satu dari lima perusahaan besar Belanda, disamping Borsumij, Geowehry, Internatio dan Van Gorkom. Kelima perusahaan inilah yang mengatur ekspor impor dan distribusi bahan-bahan pokok ke seluruh Nusantara. Kelimanya diambil alih 19567 ketika hubungan RI - Belanda memburuk karena sengketa Irian Barat (Papua).

Neng-neng-neng-neng.

Memasuki Glodok yang sejak dulu selalu hiruk-pikuk, trem sering tehenti karena padatnya lalu lintas. Terutama becak yang membelok seenaknya. Di tempat yang sekarang terdapat pertokoan Harco dulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Cina, terutama cerita jago-jago silat Bu Tong Pay dan Siaw Liem Soen. Banyak penumpang turun di Glodok bukan untuk nonton film, tapi membeli obat-obatan Cina. Ada belasan sinshe dan rumah obat Cina terdapat di sini. Di sekitar sinilah dua surat kabar Cina berbahasa Melayu rendah Keng Po dan Sinpo dicetak. Trem kemudian melewati Beos (Stasiun KA) dan Gedung Bicara (bekas kantor walikota VOC) yang kemudian menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta. Kemudian sampailah trem di perhentian terakhir halte Kota Inten di Pasar Ikan. Inten adalah nama benteng yang didirikan VOC. Orang piknik ke Pasar Ikan untuk menyaksikan akuarium, tempat muda-mudi tempo doloe berpacaran. Sebagai oleh-oleh dari Pasar Ikan orang membeli congklak, bijinya dari kerang. Atau membeli akar bahar untuk mereka yang kena rematik.


Sumber : Alwi Shahab

Kali Opak Jejak Sejarah Jakarta







Kali Opak Jakarta Abad 19

Foto abad ke-19 ini menunjukkan puluhan kapal layar yang mengarungi lautan di Nusantara tengah berlabuh di Kali Opak (anak sungai Ciliwung di sebelah barat Kali Bear, Jakarta kota.Tak disangsikan lagi, kawasan Kali Opak dan sekitarnya ditinjau dalam konstelasi kesejarahan memiliki nilai yang unik.Di sinilah kita menjejak situs situs yang menjalin benang sejarah Kota Jakarta, yang kini menjadi kota megapolitan dengan penduduk belasa juta jiwa.Dan, masih akan terus bertambah.Di barat Kali Opak diperkirakan letak kota perjuangan Jayakarta. Di ujung utara dari tempat ini merupakan pelabuhan,dan di selatan terdapat keraton terdiri atas perumahan para bangsawan, masigit, pasar, dan alun-alun. Di sebelah timur Kali Opak diperkirakan bekas benteng Fort Jacatra yang kemudian dikembangkan jadi Kastil Batavia. Kastil dilengkapi dengan bastion (benteng pertahanan), yang kini masih tersisa adalah benteng Kota Intan, yang menjadi terminal angkutan Jakarta kota. Terletak di sisi Kali Opak.Dimulai dari kota tua ini,perjuangan telah menjadi bagian hidup kota Jakarta yang kini tengah menuju statusnya sebagai kota dunia. Kini,Pemprov DKI Jakarta berupaya melakukan revitalisasi kota tua yang terletak di tepi pantai. Jakarta, tampaknya memang ditakdirkan untuk menoleh kembali ke laut, ke tempat perjuangan para leluhurnya. Di laut adalah tempat para pendiri kota berjuang untuk melahirkan sebuah kota bernama Jayakarta (22 Juni 1527). Sayangnya, Ciliwung dan 12 buah anak sungai di Jakarta sudah berubah fungsi menjadi got (selokan) besar. Akibat industri membuang limbah dan ratusan ribu masyarakat menduduki bantarannya,menyebabkan sungai-sungai rawan banjir. Realita faktual menunjukkan bahwa wajah Jakarta yang pada abad ke-19 pernah dijuluki Ratu dari Timur (Koningen van Het Oosten),kini makin kumuh. Dalam upaya menarik wisatawan asing sebanyak mungkin,Pemda DKI terus melakukan revitalisasi terhadap kawasan kota tua, yaitu seluruh kawasan yang bersejarah di antaranya Sunda Kelapa, kota lama Jakarta, dan Pantura (Kota Pantai Jakarta abad ke-21).

Sumber : Alwi Shahab

Kali Jodo dan Jembatan Jassen

Nama Kali Jodo di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, sudah ada sebelum menjadi tempat lokalisasi WTS atau sekarang PSK. Sejak terjadi perkelahian antar geng dan pembakaran rumah beberapa tahun lalu, pihak kepolisian meminta agar lokalisasi tersebut ditutup.
Kali Jodo pernah diusulkan untuk dijadikan tempat kegiatan keagamaan, seperti yang telah dilakukan di Kramat Tunggak, Jakarta Utara, dengan dibangunnya Islamic Centre. Masyarakat mendukung dan tengah menunggu bila tempat maksiat tersebut dijadikan pusat kegiatan keagamaan. Semasa gubernur Sutiyoso juga ada rencana untuk menjadikan tempat lokalisasi Boker, di Cijantung, Jakarta Selatan, menjadi Islamic Centre.
Orang Jakarta sejak tempo doeloe menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Mungkin di kali ini dulu seringkali para gadis dan pria berpacaran dan berakhir dengan perjodoan. Dulu di kali ini tiap tahun diselenggarakan pesta  peh coen   hare ke-100 Imlek (tahun baru Cina). Pesta ini menarik para muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian seperti barongsai dan pesta  ngibing diiringi gambang keromong. Banyak  taipan yang menjadi sponsornya.   
Pusat Perdagangan Harco di Glodok, Jakarta Barat, baru dibangun pada masa Orde Baru, saat Indonesia membuka diri di bidang ekonomi, sehingga banyak berdatangan modal asing. Pada masa Bung Karno, Indonesia memegang prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi.
Begitu meriahnya pembeli yang mendatangi pusat perdagangan elektronik itu hingga namanya dikenal di mancanegara. Pusat perdagangan Harco dibangun tahun 1970-an berbarengan dengan pusat perdagangan dengan nama yang sama di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pemborongnya H Abubakar Bahfen, seorang keturunan Arab.
Sebelumnya, pusat elektronika Harco merupakan bagian dari Markas Polisi Seksi II  semacam Polsek sekarang. Banyak pejuang kemerdekaan yang mendekam di penjara polisi ini, karena menentang pemerintah kolonial. Termasuk Drs Muhammad Hatta yang dipenjarakan tahun 1934 karena kegiatan politiknya. Kemudian sang proklamator ini dibuang ke Boven Digul yang merupakan pusat konsentrasi tahanan politik dan dikenal sebagai sarang malaria.

Di pusat perbelanjaan ini dahulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Mandarin dari Hongkong. Penontonnya kebanyakan warga Tionghoa. Di dekatnya di jalan yang sama (Jl Hayam Wuruk) terdapat tempat hiburan Thalia yang memutar opera-opera Stambul (dari kata Istambul di Turki).
Di seberangnya ada Jalan Gajah Mada. Di sini terdapat bekas kediaman Mayor Cina, Khouw Kim An, yang dulun merupakan gedung paling indah di Jakarta Kota. Kini menjadi gedung bertingkat 30 yang dibangun oleh Modern Group. Banyak yang menyesalkan tempat bersejarah ini diruntuhkan begitu saja. Rumah bergaya negeri leluhur ini punya puluhan kamar. Karena, ia memiliki banyak istri dan selir, yang hidup dalam satu gedung. Kebiasaan yang dianggap umum kala itu.           
Di dekat stasion kereta api BEOS, Jakarta Kota, seberang Gereja Portugis (Sion), terdapat jembatan Jassem (kini Jembatan Batu). Pada  tempo doeloe masyarakat sering menyaksikan pesta-pesta meriah di sekitar jembatan ini. Seperti saat pelantikan kapiten Cina ke-12 Lim Bengko pada masa gubernur jenderal Van der Parra (1771-1775). Pawai besar diikuti oleh musik, barongsai, nyanyian, dan tarian, yang diikuti ratusan pengarak, dimulai dari jembatan ini keliling Jakarta Kota.
Masih di kawasan Glodok, terdapat Jalan  Jie Lak Keng . Orang menyebutnya Jl Jelakeng, artinya tempat nomor 26. Di sini ada perkumpulan silat  Pa Te Koan yang artinya delapan pendekar. Ketika terjadi pembantaian orang-orang Cina (1740), banyak suhu tewas melawan Belanda. Maka, di dekatnya ada Kampung  Pa Tie Kei (delapan jenazah).
Ada juga yang mengatakan  Pa Te Koan berarti delapan teko. Karena, istri seorang kapiten Cina yang dermawan tiap hari menyediakan delapan teko teh di depan kediamannya untuk mereka yang lewat. Ketika itu daerah ini masih sepi, belum ada yang menjual makanan dan minuman.
Terletak di sebelah kiri Jl Pangeran Jayakarta, kurang lebih satu kilometer dari Stasion Beos terdapat Jl Taruna  jalan sempit yang tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Dulu jalan ini bernama Jl Souw Beng Kong  nama Kapiten Cina pertama yang dimakamkan di sini. Dia diangkat oleh gubernur jenderal JP Coen pada tahun 1619 setelah hijrah ke Batavia dari Banten.
Kini makam tersebut hanya tinggal batu nisannya. Karena, seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah penduduk. Sampai pertengahan 1960-an di tiga RT di kawasan ini seluruhnya merupakan tempat pemakaman orang-orang Cina. Ia pernah membangun sebuah wisma mewah di dekat kastil (benteng) di Prinsenstraat (kini Jl Cengkeh) Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Kaum Cina perantauan ( hoakiau ) pada umumnya bangga menjadi ahli waris kebudayaan leluhurnya. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew yang dianggap sebagai bapak bangsa Singapura pernah mengemukakan, "Adalah Konfusionisme yang menjalin persatuan dalam keluarga, yang pada gilirannya membesarkan anak cucunya menjadi cendekiawan yang tangguh, tahan banting dalam menghadapi tantangan. Kita adalah contoh hidup dari rakyat Cina, yang berkat ilham dan kebudayaan Cina, maka dapat berprestasi gemilang."


Sumber : Abah Alwi
http://koran.republika.co.id/berita/93814/Kali_Jodo_dan_Jembatan_Jassen 

Jan Pieterzoon Coen di Departemen Keuangan

Ketika Gubernur Jenderal Marsekal Herman Daendels (1808-1811) menghancurkan kastil di kota bertembok Batavia (sekitar Pasar Ikan)  Jakarta Utara, dia memindahkan pusat kota ke Weltevreden sekitar belasan kilometer dari kota lama. Di sini, Daendels, pengagum Kaisar Prancis Napoleon Boneparte, membangun pusat administrasi dan istana yang kini menjadi Departemen Keuangan di Jl Lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat. Tapi, gedung mewah ini baru selesai secara keseluruhan 20 tahun kemudian. Sementara itu, Daendels sudah dipanggil pulang. 

Karena urung menjadi istana, sayap sebelah kiri gedung yang berhadapan dengan Lapangan Parade Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), sebelum menjadi Departemen Keuangan, digunakan sebagai tempat penginapan para tamu pejabat Pemerintah Belanda. Pada 1839, bagian bawah gedung dimanfaatkan untuk Kantor Pos dan percetakan milik negara. Pada 1 Mei 1848, sebagian bangunan 'istana' yang dinamakan 'Gedung Putih' resmi dipakai untuk Departemen van Justitie (Mahkamah Agung) dan setelah kemerdekaan digunakan sebagai Departemen Keuangan hingga kini. 
Pada tahun 1869, bertepatan dengan 200 tahun usia Kota Batavia (Belanda tidak mengakui berdirinya Jayakarta pada 22 Juni 1527), diperingati peristiwa saat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Jayakarta. JP Coen oleh masyarakat Belanda dianggap sebagai gubernur jenderal yang berjasa dalam merintis penjajahan Belanda di nusantara. 
Peresmian Monumen JP Coen diselenggarakan dalam suatu acara yang meriah dan dihadiri hampir seluruh masyarakat Belanda di Batavia. Patung Coen yang memakai pakaian kebesarannya berdiri angkuh dengan tangan sambil menunjuk itu dihancurkan pada 7 Maret 1943 pada masa pendudukan Jepang. Berlainan dengan saat peresmian, ketika monumen ini dihancurkan, masyarakat bertepuk tangan karena lambang kolonialis dihancurkan dari bumi Indonesia. 
Ketika 'istana besar' ini dijadikan sebagai kantor pemerintahan, di bagian belakang terdapat tempat parkir kereta kuda angkutan pada masa itu. Di samping kanan gedung Depkeu, dahulunya terdapat klub militer 'Concordia' yang kemudian menjadi tempat sidang-sidang DPR pada masa kabinet parlementer sebelum dibangun gedung MPR/DPR di Senayan. Kini, bekas klub militer Concordia menjadi bagian dari Departemen Keuangan. 
Di Departemen Keuangan inilah, masalah-masalah keuangan negara diolah dan diputuskan sejak tahun 1950-an hingga sekarang.



Sumber : Alwi Shahab, wartawan Republika

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi