Langgar Tinggi & Masjid Tertua di Jakarta

Kamis, 21 Januari 2010



Dari dua tiang bulat besar beranda lantai dua Langgar Tinggi di Jalan Raya Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, menghadap ke Kali Angke terhampar pemandangan hiruk-pikuk kota lama Jakarta. Deretan rumah-rumah China sebentar-sebentar menghilang oleh badan kendaraan yang bergerak merayap.

Dahulu banyak perahu dan rakit dari Tangerang menyusur Kali Cisadane masuk Kali Angke membawa bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa, menuju pusat kota lama.
Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar. "Kali masih bersih dan dalam," kata Mamad (56), penjaga langgar. Tubuhnya hitam tersengat matahari Jakarta. Ia memakai celana pendek, bertelanjang dada.
Langgar yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriah ini ada di tepi Kali Angke. Luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah, dulu, digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid.
Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat shalat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular.
Langgar ini memiliki unsur arsitektur Eropa klasik, seperti tampak pada tiang-tiangnya, unsur China pada penyangga balok-balok kayunya, dan Jawa pada denah dasarnya. Menurut Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2003), langgar didirikan di salah satu tanah wakaf Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. Ahmad Assegaff (52) menambahkan, langgar didirikan Abu Bakar, pria asal Yaman. "Saya adalah anak Alwi bin (anaknya) Abdurrahman, bin Segaff, bin Husain, bin Abu Bakar," tuturnya.
Dulu, menurut cerita yang diwariskan para pendahulu Assegaff, ada empat pesta tahunan nan semarak di langgar. Pertama pesta khitanan bagi anak yatim piatu. Pesta ini diselenggarakan sehabis Lebaran di bulan Sapar. Berikutnya pesta mauludan, disusul pesta mikrajan, dan pesta khatam Al Quran.
Ketika pesta tiba, warga sekitar—Arab, India, Jawa, Bali, China, Muslim dan nonMuslim— bersama-sama mengumpulkan bantuan untuk membiayai hajatan besar itu. "Anak-anak yang dikhitan rata-rata cuma 20-an, tetapi yang datang ke pesta jauh lebih banyak dan meriah," tutur Assegaff.
Berikutnya pesta mauludan. Inilah pestanya para pria. Tak heran bila pestanya pun sampai tengah malam. Di depan langgar di dirikan panggung yang dihias janur, bunga kertas khas Betawi, dan lampion di sana-sini.
"Minyak lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai sarung madraz—sarung kotak-kotak warna coklat cerah—berkopiah, dan baju koko putih. Alas kakinya terompah," tutur Assegaff mengenang.
Pesta berlangsung sehabis magrib. Penganan yang disuguhkan adalah kue pepe, pastel, dan apem. Minumannya teh tawar dan teh manis. Pesta didominasi lantunan kasidah barzanji, mengisahkan riwayat Nabi Muhammad SAW.
Dalam pesta mikrajan, giliran kaum perempuan yang pegang peran. Acara berlangsung pukul 09.00-12.00
"Mereka memakai kebaya encim-encim dan kerudung warna putih dengan bawahan kain batik Betawi," papar Assegaff. Pesta juga didominasi lantunan tadarusan. "Ceritanya tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, lalu ke Betlehem, sebelum naik ke langit ke tujuh," paparnya.
Sajian makan siangnya nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur semur dengan ikan bandeng pesmol, bandeng acar kuning.
Terakhir adalah pesta khatam Al Quran anak-anak yang umumnya berlangsung dua jam. Setelah shalat isya, mereka salawatan atau kasidahan, lalu dilanjutkan tarawih. Setiap delapan rakaat, anak-anak berkasidahan. Berdoa untuk kedua orangtua, membaca fusul, lalu ditutup dengan tadarusan.
Hidangannya bubur gandum surba (havermut) bumbu gulai dengan tebaran daging kambing halus yang direbus. Makanan ringannya kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga. "Tergantung musim buahnya, tetapi anak-anak umumnya lebih suka nangka dan duren," ujar Assegaff. Minumannya kopi jahe campur susu.
Mengutip penjelasan para pendahulunya, ia mengatakan, di luar acara ritual, pesta diikuti orang non-Muslim juga. "Nah... nanti giliran pesta Pekcun dan Capgomeh-nya orang China, yang Muslim ganti ikutan pada berebut terima angpau. Pesta biasanya berlangsung di tepi Kali Angke. Yang Muslim biasanya lebih suka nonton dari lantai dua langgar karena bisa tiduran di langgar," tutur Assegaff.

Bersemi
Langgar Tinggi adalah salah satu tempat ibadah umat Islam yang masih tergolong tua di Jakarta. Masjid tertua di Pekojan sekaligus tertua di Jakarta adalah Masjid Al-Anshor (1648) di Jalan Pengukiran II.
Masjid tertua di Jakarta, tulis Heuken, beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia sekarang yang terletak di Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Kota. Masjid kayu bergaya Jawa ini dibakar waktu Gubernur Jenderal JP Coen menghancurkan kota Jayakarta tahun 1619.
Setelah pemusnahan itu, VOC melarang adanya masjid dan kelenteng di dalam kota. Namun, hal itu tidak diindahkan orang Moor, orang Islam asal Hejaz dan Gujarat, India, yang dikenal sebagai orang keling. Sebelum tinggal di Pekojan, mereka tinggal di Banten. Merekalah yang pada tahun 1648 membangun masjid kedua di Jakarta, Masjid Al-Anshor.
Apa yang dilakukan orang Moor membangkitkan keberanian orang Arab, Banten, Makassar, China, dan orang Bali membangun masjid di sekitar Pekojan, lalu meluas ke kawasan Jakarta Barat. Tercatat Masjid Al-Mansur (1717) di Jalan Sawah Lio, Mesjid Luar Batang (1736) yang dibangun Sayid Husein bin Abubakar, Masjid Kampung Baru (1748) di Bandengan Selatan, dan Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan nomor 71.
Berikutnya, Masjid Angke atau Masjid al-Anwar (1761) yang dibangun seorang kontraktor China untuk orang Muslim Bali, Masjid Tambora (1761), Masjid Krukut (1785), dan Masjid Kebon Jeruk (1786) yang dibangun kaum Muslim Tionghoa.
Di antara masjid tadi, ada dua masjid paling menarik, yaitu Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk. Selain karena arsitekturnya berunsur Bali, Belanda, Jawa, dan Tionghoa, Masjid Angke bisa menjelaskan, mengapa orang Bali yang identik dengan Hindu menjadi Muslim.

Heuken menulis, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Karena tinggal di tanah Jawa, mereka disebut orang Jawa. Jadi, orang pribumi itu orang Jawa. Orang Jawa itu Islam, artinya, tunduk pada peraturan hukum Islam.
Maka, orang Bali yang beragama Hindu pun harus tunduk pada hukum Islam.
Berbeda dengan orang-orang China yang masuk Islam kala itu. Mereka masuk Islam agar dianggap golongan pribumi. Karena pribumi, mereka bisa bebas dari pajak kucir rambut dan beban pajak lainnya yang hanya ditanggung orang China. Identitas Islam kemudian mereka perkuat dengan membangun masjid, antara lain Masjid Kebon Jeruk.
Dalam proses yang berlangsung secara damai, Islam yang menjadi identitas pengikat antara kaum perantau (China, Arab, dan Moor) dan etnis Nusantara yang ada di Jakarta melahirkan etnis baru, etnis Betawi.
Hingga kini, jejaknya melekat pada arsitektur dan ornamen masjid-masjid tua, pesta pernikahan, bahasa, cara mereka berkesenian, dan pesta pesta seperti yang berlangsung di Langgar Tinggi.

Oleh : WINDORO ADI, Kompas

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi