Meneropong Metamorfosis Hutan Gambir

Jumat, 25 Desember 2009












Stasiun Gambir Tahun 1925


Berawal dari rawa yang berkembang menjadi pasar malam, stasiun, dan nama sebuah kelurahan.
               
Deru lokomotif tak henti mengusik telinga. Bunyi berdecit gesekan rel dan hiruk pikuk manusia seakan tak pernah reda. Kebisingan itu jelas membangun harmonisasi khas sebuah stasiun kereta api. Gambir! 
Pasar Gambir Tahun 1922

Siapa yang tak mengenal Gambir? Hampir seluruh penduduk Ibu Kota mengenal Gambir sebagai stasiun kereta api terbesar di Jakarta. Stasiun yang dibangun pada 1930-an ini melayani rute ke hampir seluruh kota besar di Jawa.Awalnya, Gambir tak merujuk pada stasiun kereta api. Gambir justru merujuk pada pasar malam yang digelar untuk memperingati penobatan Ratu Belanda, Wilhelmina (nenek Ratu Beatrix). Wilhelmina dinobatkan sebagai ratu pada 31 Agustus 1898 silam.Pasar Gambir ada sejak tahun 1920-an. Letaknya di sekitar Stasiun Kereta Api Gambir  atau lapangan Monumen Nasional.  “Di sebut Pasar Gambir karena konon banyak pohon gambir di kawasan ini,” kata sesepuh Gambir, Harsono, saat berbincang dengan VIVAnews beberapa pekan lalu.Pohon gambir adalah sejenis tumbuhan bergetah, Uncaria Gambir,  yang biasa digunakan untuk menyirih. Kandungan katekin, bahan alami antioksidan, yang dimiliki tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat.Dalam sejarahnya, Pasar Gambir merupakan salah satu pasar terkenal di Batavia pada zaman kolonial Belanda. Di pasar itulah berbaur berbagai lapisan masyarakat dari segala penjuru Batavia. Tak heran jika masyarakat kemudian mengidentikkan kawasan di sekitar pasar itu sebagai Gambir. Termasuk penamaan stasiun yang berjarak beberapa meter dari pasar itu.Kini, selain dikenal sebagai nama stasiun kereta api, Gambir juga diabadikan sebagai sebuah kelurahan di Jakarta Pusat, yang menaungi stasiun tersebut.Perkembangan Gambir tak lepas dari campur tangan Gubernur Willem Daendels yang berkuasa di Batavia 1808-1811. Di kawasan yang semula berupa rawa itu ia membangun pusat pemerintahan. Kawasan Weltevreden ia menyebutnya.Kawasan Weltevreden meliputi Jakarta Pusat saat ini dengan batas utara Postweg dan Schoolweg (Jalan Pos dan Jalan Dr Sutomo Pasar Baru), batas timur de Grote Zuidenweg (Gunung Sahari Pasar Senen), dan batas selatan Kramat Raya hingga Parapatan. Daendels membangun istana, rumah sakit, tangsi militer, dan pemukiman elit di kawasan itu. Sejumlah bangunan masih tersisa. Salah satunya, Istana Daendels yang kini dipakai sebagai gedung Departemen Keuangan.


Sumber :  
·      vivanews.com
·      Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam Mahaputra

Legenda Karet Tengsin


Bermula di Kebun Karet Saudagar Tiongkok.


Kawasan Karet Tengsin Tahun 1896




Karet Tengsin dulunya adalah perkebunan karet milik etnis China Betawi bernama Tieng Shin.Rimbunan perkebunan karet seluas 300 hektar yang terhampar di jantung pusat kota Jakarta, terpaksa harus tergusur akibat perkembangan zaman ke arah modernisasi.Pohon-pohon karet kini berganti wajah dengan gedung-gedung pencakar langit. Daerah yang dikenal dengan nama Karet Tengsing itu memiliki sejarah yang cukup panjang.  Menurut salah satu sesepuh Karet Tengsin, Husni MT, 60 tahun, asal mula nama daerah yang kini termasuk kawasan Segitiga Emas Kuningan,  berasal dari nama orang China yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Tieng Shin. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, maka Tieng Shin cepat dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Tieng Shin."Karena orang pribumi susah nyebutnya jadi Tengsin saja," ujarnya kepada VIVAnews.Memang pada waktu itu banyak pohon karet, Karet Tengsin dulunya adalah perkebunan karet milik etnis China Betawi bernama Tieng Shin.  "Di sini dulunya hutan yang ditubuhi berbagai macam pohon. Salah satunya pohon karet. Hutan ini kemudian berubah menjadi perkebunan karet oleh Tieng Shin," ungkapnya.Karena kekayaan yang berlimpah dan sikapnya yang dermawan membuat para pribumi banyak bekerja di perkebunan miliknya. "Warga di sini dulunya hidup sejahtera, kita biasanya makan dari hasil hutan yang cukup berlimpah. Banyak sayur mayur yang tumbuh subur. Jadi tidak udah beli tinggal ambil saja," ujar Ketua RT 06 RW 02 Karet Tengsin ini.Husni mengakui jika kakeknya Saidi merupakan teman akrab Tieng Shin. Tak hayal dirinya pun mengetahui sejarah tersebut. "Tieng Shin sudah berada di sini sejak 1890, dia memiliki rumah yang sekarang dibongkar menjadi Menara Batavia," tuturnya.Perkebunan karet milik Tieng Shin akhirnya tergusur setelah dibangunnya Stadion Gelora Bung Karno. "Jalan KH Mas Mansyur dulunya kebun karet, tapi akhirnya ditebang untuk dijadikan jalan," kenangnya.Kebun-kebun yang rindang dengan pohon karet akhirnya mulai menghilang, namun jejak keluarga Tieng Shin masih tetap bertahan meskipun tidak berlangsung lama. "Pasca meninggalnya Tieng Shin, anak dan cucu masih menetap, tapi tidak lama. Sejak rumah mereka juga ikut tergusur, jejak itu sirna," katanya.Husni mengaku sedih dengan kondisi Karet Tengsin saat ini. Warganya menjadi susah, lingkungan menjadi kumuh. Penduduk asli pun tak kuasa dengan adanya serangan dari gedung-gedung pencakar langit yang mulai menutupi rumahnya dari sinar matahari. Satu persatu mereka mulai angkat kaki dari perkebunan karet itu.Kali Krukrut yang melintasi perkebunan Karet Tengsin pun ikut terkena dari dampak modernisasi. "Dulu kalinya bening, kita masih suka mancing, mencuci, dan mandi. Tapi sekarang airnya kotor," ujarnya lirih.Kini Karet Tengsin hanya sepenggal cerita massa lalu yang selalu terkenang dengan keindahan perkebunan karetnya. Karet Tengsin merupakan Kelurahan di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Karet Tengsin memiliki 70 RT yang terangkum dalam 9 Rukun Warga. Jumlah warga Karet Tengsin hampir 15 ribu jiwa. Mereka tinggal di atas lahan, termasuk lahan Pemakaman Karet Bivak yang terkenal itu seluas 153 hektar.


Sumber :
Maryadie, Sandy Adam Mahaputra
• vivanews.com

Legenda Kampung Bandan

Kamis, 24 Desember 2009




Menengok Kampung Budak di Batavia


Padahal di kampung ini ada cerita yang tersisa.Mungkin tidak banyak orang mengenal Kampung Bandan. Mereka yang mengenal pun agaknya menginisiasikan kampung yang berada di wilayah utara Jakarta sebagai tempat kumuh. Padahal di kampung ini ada cerita tersisa ketika Jakarta masih bernama Batavia. Berdasarkan catatan buku sejarah, dijelaskan asal muasal mengapa kawasan ini disebut kampung Bandan. Pertama, kampung yang berlokasi di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa ini diperkirakan berasal dari kata Banda, sebuah pulau di Maluku.Ditengarai ada sekumpulan masyarakat Banda, di zaman Batavia yang menghuni kawasan ini. Penyebutan ini disebut lazim mengingat kasus lain punya kemiripan seperti penyebutan nama kampung China sebagai pecinan, atau nama tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean, dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (Arab). Banda juga bisa berasal dari kata Banda dalam bahasa Jawa berarti ikatan dibanda (diikat). Ini dihubungkan dengan peristiwa yang sering dilihat oleh warga pada zaman pendudukan Jepang. Ketika itu Jepang sering membawa pemberontakan dengan tangan terikat melewati kampung ini untuk dieksekusi di Ancol. 
Kemungkinan ketiga, yakni bahwa Banda merupakan pengucapan dari kata Pandan. Sebab di masa lalu kampung ini dipenuhi pohon pandan sehingga warga menyebut Kampung Pandan kemudian menjadi Kampung Bandan.Apapun asal muasal nama tempat ini, yang pasti sejarah menyebutkan kampung ini merupakan penampungan budak dari Pulau Banda, Maluku, ketika JP Coen menaklukan pulau itu pada 1621.Pembantain besar-besaran dilakukan Coen. Mereka yang selamat diboyong ke Batavia, dan budak-budak tadi memberontak melawan VOC di Marunda, Jakarta Utara.Setelah periode perbudakan usai, para tawanan dipekerjakan di Pasar Ikan. Mengingat, kawasan kampung dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang otomatis dekat dengan Pasar Ikan.Mereka tetap mendiami kampung tersebut, tumbuh berkembang dan beranak pinak. Di kawasan itu akhirnya dibangun pula jalur kereta api, yaitu ketika Pelabuhan Tanjungpriok (baru) dibangun.Jalur kereta api itu untuk menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok.Selain terdapat stasiun, di Kampung Bandan juga masih berdiri sebuah masjid tua yang dikenal dengan nama masjid Kampung Bandan. Dengan kondisi yang kumuh, tak sehat, kotor, dan berantakan, kawasan ini tetap layak menjadi tujuan wisata karena menyisakan stasiun dan masjid dari abad ke-19. Kepala UPT Kota Tua, Chandrian mengatakan Kampung Bandan merupakan cagar budaya yang masuk dalam peta kawasan kota sesuai dengan peraturan Gubernur No 34 tahun 2006 adalah batas bagian timur yang masuk dalam program revitalisasi Kota Tua.Dengan kondisi yang kumuh di Kampung Bandan seakan membawa kita kembali melihat perbudakan dan kaum marginal di era postmodern Batavia.


Sumber : vivanews.com


Legenda Ancol


Cerita Si Manis di Wisata Air Asin



Ancol mengalami perjalanan terkelam pada masa pendudukan Jepang di tahun 1940-an.
Mungkin sebagian warga Jakarta mengenal sebutan Si Manis Jembatan Ancol. Satu mistis yang menjadi urban legend. Dari sini juga, salah satu sisi  Ancol dikenal. 
Namun sejatinya, Ancol dalam sejarahnya tidak hanya dikenal dengan tokoh yang sempat difilmkan ini. Ketika menyebut nama Ancol, akan juga teringat dengan sebuah tempat rekreasi yang terintegrasi dalam kawasan Taman Impian Jaya Ancol. 
Mahfum, saat ini Ancol memang lebih identik dan dikenal warga Jakarta sebagai kawasan wisata saja. Karena di kawasan ini terdapat bermacam taman wisata dan rekreasi permainan, mulai dari Dunia Fantasi, Sea World, Wahana Atlantis dan fasilitas lainnya. 
Padahal beragam kisah tersisa dari perjalanan panjang kawasan yang terletak di pesisir pantai utara kota Jakarta ini. 
Nama Ancol sendiri berarti tanah rendah berpaya-paya atau payau. Karena dulu bila laut sedang pasang,  air payau kali Ancol berbalik ke darat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. 
"Karena faktor itulah orang Belanda pada zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai Zouteland atau 'tanah asin'" cerita Sekretaris Pusat Studi Betawi, Liliek Sofyan Ahmad. 
Kawasan Ancol sendiri terkenal sebagai lokasi rekreasi warga Jakarta sejak abad ke-17. Karena lokasinya yang terletak di pesisir pantai dengan hamparan pulau-pulau kecil yang menghias membuat Pantai Ancol memiliki daya tarik tersendiri.


Oleh karena itu kawasan ini sering dimanfaatkan sebagai lokasi peristirahatan oleh warga Batavia dengan membangun villa peristirahatan. 
Suasana Ancol yang pada waktu itu bernama Slingerland itu pun pernah dilukiskan oleh seorang perwira artileri VOC, Johannes Rach (1720-1783) pada tahun 1772 menggambarkan banyaknya vila-vila peristirahatan berdiri di sekitar pantai ini.  Di antaranya milik Gubernur Jendral Hindia Belanda Andriaan Valckneir (1737-1741). 
Menurut Alwi Shahab, sejak dulu Ancol memang dikenal sebagai tempat rekreasi. "Sejak tiga abad lalu, Ancol sudah menjadi tempat rekreasi khususnya bagi bagi warga Belanda untuk berakhir minggu," katanya. 
"Noni-noni Belanda rekreasi dengan dipayungi para budaknya menikmati Pantai Ancol" tulis Alwi dalam sebuah artikel. 
Namun, seiring eksodusnya warga Batavia ke wilayah Kota Baru Weltevreden pada akhir abad 18, Ancol mulai ditinggalkan. Pada masa itu pula, terkadang air Sungai Ciliwung meluap hingga mengubah kawasan tersebut menjadi kumuh dan berlumpur. 
Selain itu, mewabahnya berbagai penyakit di kawasan berawa ini semakin membuat kawasan ini ditinggalkan warga Batavia. 
Menurut Liliek Sofyan Ahmad, kawasan Ancol mengalami perjalanan terkelam pada masa pendudukan Jepang di sekitar tahun 1940-an. Pada masa itu rawa sekitar Ancol sempat menjadi tempat pembuangan bagi mayat orang Belanda yang melawan pemerintah pendudukan Jepang. 
Mayat mereka dibuang dan dikuburkan tanpa nama di kawasan rawa-rawa. "Tapi sekarang mayat-mayat tersebut sudah dimakamkan kembali sebagaimana mestinya di lokasi pemakaman Ereveld Ancol" ujar 
Lilik menuturkan, komplek pemakaman tersebut saat ini berada di kawasan sebelah timur Taman Impian Jaya Ancol. Di kawasan tersebut tampak nisan berbentuk salib putih berjajar rapih. 
Akibatnya, kawasan yang semula pusat rekreasi berubah menjadi sepi dan menyeramkan. "Dulu waktu saya kecil, Ancol sempat dijuluki tempat jin buang anak" ujar seorang warga yang pernah menetap di kawasan Tanjung Priok pada tahun 1950-an ini, Siti Astuti, 55 tahun. 
Karena kawasan yang sudah dipenuhi lumpur dan rawa ini selalu dalam keadaan sepi, hanya gerombolan monyet liar yang memenuhi kawasan tersebut. 
Selain itu, kisah misteri yang melegenda di kalangan warga sekitar membuat warga enggan melintas di kawasan tersebut pada malam hari "Kuntilanak sering mengganggu pengendara yang melintas di jembatan Ancol" ujar Siti Astuti.Konon katanya kuntilanak tersebut merupakan perwujudan dari seorang gadis pribumi, Ariah yang tewas saat hendak diperkosa oleh seorang pemuda berandalan. Cerita ini pun berkembang sehingga sempat difilmkan yang bertajuk Si Manis Jembatan Ancol. 
Keadaan Ancol yang kian terpuruk ini tidak dibiarkan saat Soekarno mulai memerintah. Untuk mengembalikan kejayaan Ancol masa lalu, maka Presiden Soekarno mempunyai ide untuk mengembalikan kawasan Ancol sebagai kawasan wisata bagi warga jakarta. 
Mulailah pada tahun 1966 kawasan Ancol dibenahi. Diawali dengan pembangunan kawasan Pantai Bina Ria Ancol yang terkenal dengan Theater Mobil di era 1970-an. 
"Walau hanya sebentar, pusat judi dengan nama Copacabana pun sempat ada di kawasan ini," ujar Liliek. 
Bangunan pun terus berlanjut hingga saat ini. Satu persatu tempat rekreasi didirikan di kawasan Taman Impian Jaya Ancol ini. Dimulai dengan dibangunnya Dunia Fantasi dan arena rekreasi lainnya seperti Gelanggang Samudera dan Seaworld membuat Ancol bertransformasi dari sekedar tempat peristirahatan Noni Belanda hingga menjadi pusat rekreasi permainan terbesar dan terlengkap di Indonesia. 
Saat ini kawasan seluas 552 hektar ini termasuk ke dalam wilayah kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara. Di sebelah barat, Ancol bersisian dengan Kota Tua. Sementara sisi sebelah timur berbatasan dengan kompleks Pelabuhan Tanjung Priok.


Sumber :
• vivanews.com

Filosofi Jembatan Semanggi

Rabu, 23 Desember 2009


Proses pembangunan Jembatan Semanggi tidaklah mudah. Presiden Soekarno banyak diprotes.
Jembatan Semanggi. Bangunan fisiknya berupa jalan layang yang melingkar-lingkar. Karena bentuknya mirip struktur daun lalapan, semanggi, maka kemudian meresap dan menjadi nama jembatan itu sendiri.
Pada perkembangannya, kawasan Jembatan Semanggi menjadi ciri khas Ibukota Jakarta. Jembatan ini menjadi semacam poros lalu lintas Ibukota Jakarta sekaligus sebagai simbol kemakmuran perekonomian.
Lokasi jembatan terkenal ini berada di kawasan Karet, Semanggi, Setia Budi. Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Proses pembangunan Jembatan Semanggi tidaklah mudah. Presiden Soekarno tidak begitu saja mendapat restu dari rakyat. Sebab, pada waktu itu orang sudah mulai berpikir kritis terhadap ide-ide pembangunan fisik.
Pada masa itu, anggota masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah menilai bahwa gagasan Bung Karno ini hanyalah proyek mubazir. Proyek yang hanya akan menghabiskan keuangan negara dan tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat.
Bung Karno tentu saja memahami apresiasi yang disampaikan masyarakat. Dia menampung semua protes itu. Bung Karno mengolahnya.
Tapi, bukan Bung Karno namanya kalau kemudian mundur oleh berbagai kritik. Dia tetap mantap pada pendirian, yakni merealisasikan pembangunan Jembatan Semanggi. Tahun 1961 proyek dimulai.
Waktu itu, Jembatan Semanggi hanyalah salah satu dari paket pembangunan fasilitas publik yang akan dibangun pemerintah. Proyek lain yang juga didirikan, antara lain Gelora Senayan (Gelora Bung Karno) dan Hotel Indonesia.
Mengenai nama Semanggi, Bung Karno punya cerita sendiri. Dalam satu kesempatan, dia pernah bicara filosofi tentang daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa dia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah.
Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.
Itulah sejarah singkat Jembatan Semanggi yang kini tetap berdiri kokoh dan mengimbangi pesatnya pembangunan infrastruktur Ibukota Jakarta.
Bila menilik sejarahnya, pantas memang bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan Jembatan Semanggi sebagai tempat wisata bernilai sejarah.


Sumber : vivanews .com
(Bahan tulisan diolah dari berbagai data kepustakaan)

Ondel-ondel

Minggu, 20 Desember 2009

Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah budaya Betawi.

Hal ini terungkap dari tulisan W. Scot, seorang pedagang Inggris yang pada awal abad ke tujuh belas berada di Banten, yang dikutip oleh W. Fruin Mees dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis Van Java, jilid II yanh intinya kurang lebih sebagai berikut : 

"Pada tahun 1605, iring-iringan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk ikut merayakan pada khitanan pangeran Abdul Mafakhir yang tiga tahun sebelumnya dalam usia 7 tahun telah dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad, yang wafatnya di Palembang, antara lain membawa boneka berbentuk raksasa ("een reus raksasa itu adlah apa yang dewasa ini kita kenal sebagai ondel-ondel , yang pada zaman dahuli lazim dianggap perwujudan Danyang Desa, penolak mata petaka.

Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon diswbut Gendruwo, di Banyumas disebut Barongan Buncis dan si Bali disebut Barong landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakterisrik yang khas. Sebagai catatan, diharapkan dalam membuat disainnya agar dapat menunjukkan ekspresi garang tetapi menyenangkan untuk dilihat, tidak mengesankan makhluk besar berwajah bodoh. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai membawakan lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan "bekakak" dalam upacara "potong bekakak" digunung gamping disebelah selatan Kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan Sapar setiap tahun.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5 m, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk, "duk" kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.

Ondel-ondel yang menggambarkan lski-lski muksnys bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-parayaan umum seperti ulang tahun hari jadi Kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah.

Musik pengiring Ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan "Beringin Sakti: pimpinan Duloh (Almarhum), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Ada pula yang diiringi Bende, "Kemes", Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres.

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, "Ngamen". Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru MAsehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen. Pendukung utama kesenian ondel-ondel adalah petani termasuk "abangan", khususnya yang terdapat didaerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.

Di beberapa tempat seperti di Cireundue, Ciputat, serinh pula digunakan dalam pesta-pesta "baritan", semacam upacara "bersih desa", yang biasa diselenggarakan setelah panen raya, dahulu antara juli - agustus.  Pembuatan Ondel-ondel dilakukan secara tertib. Baik waktu membentuk kedoknya, demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu.

Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disedikan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti dibakari kemenyan. Demikian pula Ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah satu seorang yang dituakan. Menutut istilah setempat upacara demikian itu disebut "ukup" atau "ngukup".



Referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

Sumber :DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA


Lenong

Hasil perkembangan teaterisasi teater tutur gambang rancag menjadi teater peran adalah terbentuknya lenong, yang secara visual memperlihatkan unsur-unsur luar, terutama unsur Cina. Hal ini disebabkan sebagaimana orkes Gambang kromong pada masa awal pertumbuhannya, dibina dan dikembangkan oleh masyarakat keturunan Cina. Lenong biasa dilengkapi dengan dekor5 yang disesuaikan pada babak-babak cerita. Pertunjukannya biasanya dimulai dengan permainan musik Gambang Kromong, yang membawakan lagu-lagu baku sebagai berikut : Dimulai dengan tetalu dimainkan musik lagu-lagu berirama Mars (istilah setempat Mares), secara instrumental, berfungsi sebagai musik ilustrasi untuk memanggil penonton supaya pada datrang. Dalam pembukaan pertunjukkan, dimainkan acara Hormat Selamat dengan membawakan lagu Angkat Selamet. Sementara dalam acara ekstra biasanya dibawakan lagu-lagu khas Betawi seperti Jali-jali, Persi, Stambul, Cente Manis, Seret Balok, renggong Manis dan lain-lain. Lakon-lakon pada masa awal pertumbuhannya berkisar di sekitar cerita kerajaan, karena itu timbul ungkapan "kaya raja lenong", untuk menunjukkan orang yang bergaya feodal. Perlengkapan dan pakaiannya, sesuai dengan sifat cerita yang disajikan, tergolong mewah, gemerlapan. Dengan demikian dapat diperkirakan, bahwa pemilik Lenong adalah orkes gambang Kromong sebagai musik pengiringnya. Berdasarkan cara pertunjukan, cerita yang dibawakan, masyarakat pendukungnya dan sebagainya, terdapat beberapa sebutan terhadap teater yang tergolong Lenong itu, yakni : Lenong Dines, Wayang Senggol, Wayang Sumedar, Lenong Preman dan Wayang si Ronda.



Referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003


Sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN



Lenong Denes


Lenong yang menyajikan cerita-cerita kerajaan seperti, indra Bangsawan, Danur Wulan dan sebagainya, menurut istilah setempat disebut Lenong Denes.


Mungkin sebutan itu disebabkan karena yang dikasihkan adalah orang-orang atau tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi, orang-orang "dines", berlainan dengan orang kebanyakan, "orang preman". Sesuai dengan jalan cerita yang mengisahkan lingkungan bangsawan, maka pakaian dan perlengkapannya pun sudah barang tentu di sesuaikan dengan kebutuhan itu. Lain dari pada itu, bahasa yang digunakan dalam pentaspun, bukan bahasa Betawi sehari-hari, melainkan bahasa "Melayu Tinggi", dengan kata-kata ; "hamba", "kakanda", "adinda", "beliau", "daulat tuanku", "syahdan", berdatang sembah dan sebagainya. Bahasa demikian dewasa ini sudah sedikit sekali yang dapat menghayati, termasuk para seniman lenong sendiri. Oleh karenanya penggunaanya tampak kaku, sulit untuk dapat melahirkan humor spontan. Oleh karena itu pula makin menyusut peminatnya.

Beberapa rombongan Lenong Dines dewasa ini antara lain ; Lenong Dines pimpinan rais di cakung, pimpinan Samad Modo di Pekayon, pimpinan Tohir di Ceger dan pimpinan Mis bulet di Babelan. Mungkin karena golongan keturunan Cina yang secara  ekonomis umumnya lebih kuat, lebih tajam penglihatannya terhadap segi-segi komersial, kini tidak ada Lenong Dines yang dimiliki oleh golongan ini. Lenong Dines biasa bermain diatas panggung, berukuran lebih 5 x 7 meter.Tempat seluas itu dibagi dua, sebagian untuk tempat pemain berhias, ganti pakaian, duduk-duduk menunggu saat untuk tampil. Sebagian lagi digunakan sebagai pentas. Alat musik ditata panggung, sebelah kanan dan sebelah kiri pentas. Penggunaan dekor adalah untuk menyatakan susunan dalam adegan-adegan. Tetapi pada kenyataannya, penggunaannya sering tidak tepat, karena terbtasnya persediannya dekor atau kadang-kadang karena kurang cermatnya pengatur dekor itu sendiri dalam menyesuaikan situasi, ruang dan waktu. Misalnya menurut cerita sang puteri sedang bercengkrama di tmansari, disertai dayang-dayangnya, ternyata dekornya menggambarkan kota metropolitan dan gedung-gedung tinggi, mobil sedan berseliweran dijalan. Pakaian pentas sudah barang sedapat mungkin disesuaikan dengan lakon. Membawa cerita "Pho Sio Litan", yang menceritakan suka derita seorang putera raja Cina, wanitanya memakai celana longgar yang ujung bawahnya diikatkan, baju kurung bersulam, rambutnya disanggul diatas tengkuk dan sebagainya. Pria berbaju "koko" berwarna menyala,cekana longgar dari "sutera" dan sebagainya. Perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian sungguh-sungguh, ada juga menggunakan pedang, bermain anggar, disertai gerak-gerak akrobatik yang mengesankan. Sebelum pertunjukan dimulai, biasa diselenggarakam upacara "ukup" dengan disediakan sesajen serta pembakaran kemenyan atau "hioh".



Referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

Sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

Ubrug

Jenis ini termasuk teater peran yang sudah punah, beberapa tokohnya yang masih hidup antara lain Ma Kinang, yang sekitar tahun dua puluhan berpindah profesi dari "ronggeng" Ubrug menjadi "Ronggeng Topeng".

Demikian juga Ma Minah di Cijantung. Ubrug Betawi merupakan unsur lain dari Ubrug Banten yang terdapat di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Pandeglang. Selain bahasa yang berbeda, pada pergelaran Ubrug Betawi biasa terdapat pertunjukan sulap. Ada sulapan yang berdasarkan ketrampilan, ada pula sulapan yang konon menggunakan ilmu gaib, seperti "sulap gedebus". lakon-Iakon yang biasa dibawakan Ubrug berbentuk lakon-Iakon pendek yang disebut "banyolan". Sesuai dengan sebutannya, "banyolan" : mengutamakan tawa penonton. Jalur cerita tidak begitu diperhitungkan. namun demikian humor-humor yang dibawakan tidak sedikit yang bersifat kritik sosial, kadang-kadang mengandung sindiran terhadap seseorang atau sekelompok orang yang oleh masyarakat dianggap menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku. Disamping mengadakan pergelaran untuk memeriahkan berbagai hajatan, seperti khitanan, perkawinan dan sebagainya, lazim pula rombonganrombongan Ubrug Betawi mengadakan pertunjukan keliling. Pertunjukkan keliling tidak hanya pada hari-hari raya umum seperti tahun bam dan sebagainya, melainkan juga keliling dari tempat yang satu ketempat lain walaupun tidak ada panggilan. Di tempat-tempat yang banyak didatangi orang, seperti di pasar-pasar, bahkan di halaman stasiun kereta api, tanpa banyak prosedur yang perlu ditempuh, sewaktu-waktu rombongan ubrug tampil mengadakan pertunjukan, uang diperoleh dengan cara "nyawer" yang dilakukan oleh salah seorang "panjak", biasanya "rombongannya", meminta langsung dari para penonton. Alat musik yang biasa mengiringi pagelaran ubrug adalah sebuah gendang, sebuah kulanter, rebana biang dan terompet. Rombongan ubrug yang terkenal pada tahun duapuluhan antara lain yang dipimpin oleh Kadul di Gudang air, Pasar Rebo.


Referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN
 
 



Samrah


Samrah merupakan kesenian yang komplit. Didalamnya tergabung jenisjenis kesenian : Musik, pantun, tari dan lakon.

Istilah samrah mungkin berasal dari bahasa Arab "Samarokh" yang berarti "kumpul". Penamaan ini sesuai dengan kenyataan pada waktu yang lampau samrah ditampilkan pada saat-saat orang berkumpul setelah aeara "Maulid" dan "malam Angkat" dalam rangkaian upaeara pernikahan menurut tradisi Betawi, tanpa disediakan panggung cukup disediakan tempat tertentu saja. Pertunjukan musik dan tari Samrah lazim dilanjutkan dengan membawa cerita. Kalau pertunjukan musik dan tarinya diselenggarakan tanpa panggung, teaternya pun dengan sendirinya tanpa panggung, yakni dengan pentas berbentuk arena, sesuai dengan keadaan tempat. Komando sebagai tanda dimulainya pertunjukan, biasanya diueapkan oleh tuan rumah yang mempunyai hajat : "Ayo dong meja-kursi digeserin, piring mangkok dibenahin, Nyok deh kite nyerbu" maka diatas tikar yang terbentang, disitulah pertunjukan dilakukan. Tampak bahwa Samrah
tampil dalam pesta perkawinan, bukan pada upaeara lainnya. Mereka main karena diundang, tanpa dibayar, pemain dan hadirin hanya bertujuan menari  hiburan belaka. Tidak mengherankan bilamana kostum para pemain Samrah yang asH berupa jas, kain plakat dan peei, suatu seragam yang biasa dipakai oleh kaum pria Betawi menghadiri upaeara pernikahan. Teater Samrah pada umumnya tidak menggunakan dekor, kadang-kadang ada yang melengkapinya dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Cerita yang biasa dibawakan teater Samrah adalah dengan bahasa Melayu tinggi dengan banyak menggunakan kata-kata Melayu Riau seperti eneik, abang, tuan, gerangan, hamba dan fain-lain, walaupun diueapkan dalam, lafal melayu Betawi. Tonil Samrah ini sesudah perang dunia kedua popularitasnya dikalangan remaja makin berkurang. Peremajaannya mandeg. Hal ini mungkin karena lagu-agunya yang berbau "kuno" dengan iramanya yang lamban, atau karena musiknya sulit dimainkan, rata-rata bernada minor; atau karena tariannya yang berdasarkan gerakan silat seni bela diri yang masih belum meluas atau juga karena pantunnya yang jarang orang menghafalkannya luar kepala. Tokoh-tokoh samrah yang aktif dewasa ini antara lain Harun Rasyid, M. Zein, Arifin, Ali Sabeni dan lain-lain, yang rata-rata berusia lima puluh tahun keatas. Seperti halnya Dermuluk penyebaran Samrah terbatas di daerah tengah kota. Sampai sebelum perang dunia kedua, Tonil Samrah dimainkan melulu oleh kaum pria saja, baik penarinya maupun peran wanitanya. Mungkin hal ini adalah karena masyarakat Betawi termasuk kelompok yang ketat menganut agama Islam, sehingga haram bagi wanita untuk menjadi anak panggung. Pergelaran toni! samrah pada masa lalu terdiri dari beberapa bagian : ada pembukaan berupa tarian, ada nyanyian, ada lawakan dan lakon. Dalam membawakan eerita, eiri khas Samrah terlihat dari penyampaian maksud yang berbentuk pantun yang dinyanyikan. Sama seperti "pakem" opera, karena pada dasarnya toni! samrah juga berasal dari teater rakyat Melayu Riau yakni Teater Dermuluk, tetapi dalam perkembangannya berubah bentuknya setelah muneul di Betawi menjadi Melayu Betawi. Karena berbau opera itulah, para pemain Samrah harus paham dan pandai berpantun dan bernyanyi.

referensi :DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN PROPINSI DKI JAKARTA, Ikhtisar Kesenian Betawi, 2003

sumber :DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN


Ariah Si Manis Ancol


Ariah, atau Arie, anak kedua Mak Emper. Ariah mempunyai seorang kakak perempuan. Tatkala kakak beradik ini masih kecil, ayahnya meninggal. Hancurlah kehidupan tiga hamba Allah dari Kampung Sawah, Kramat Sentiong. Ini terjadi sekitar tahun 1860.

Menjadi adat orang Betawi jaman dulu, siapa yang kaya menolong yang miskin. Seorang saudagar padi di kampung Kramat yang mempunyai sawah luas mengajak Mak Emper dan kedua anak perempuannya tinggal di emperan rumahnya. Emperan ialah bangunan rumah kecil yang berdiri menempel pada bangunan rumah besar.

Mak Emper dan kakak Ariah membantu menumbuk padi milik saudagar itu. Ariah sehari-hari mencari kayu bakar, sayuran dan telur ayam hutan di hutan Ancol. Tahun demi tahun berlalu, kehidupan Mak Emper datar saja. Tidak kelaparan, tetapi sangat jauh untuk dikatakan berada.

Ariah tumbuh sebagai gadis cantik. Hati saudagar tertarik akan kecantikan Ariah. Ariah dipinangnya. Mak Emper sangat bingung, mengingat ia tinggal menumpang pada saudagar itu, sedangkan saudagar itu telah pula beristeri.

"Mak, Mak jangan bingung, biar Arie yang ambil keputusan" Berkata Ariah pada suatu sore sepulangnya mencari kayu bakar di hutan.

"Keputusan apa, Arie?" Kata Mak Emper.

"Arie kagak bakalan kawin sarna saudagar yang punya rumah ini. Mpok 'kan belum kawin. Lagian apa kata ibu yang rumahnya kita tumpangin ?"

"Arie, itu yang bikin Mak bingung. Kite numpang di sini. Tuan rumah mauin Arie. Dia yang ajak kita tinggal di sini. Mau saja deh, Arie. Kalau kita diusir, mau tinggal dimana. Babe kamu 'kan sudah meninggal".

Mak Emper mengucapkan kata-katanya sambil menangis terisak-isak.

"Mak jangan menangis Mak, Arie sedih kalau lihat Mak menangis. Arie sudah bilang tadi. Arie sudah ambil keputusan Mak lihat saja deh".

Ariah bangkit dari duduknya menuju dapur menemui kakaknya yang sedang masak air.

"Pok, Arie cuma dapat telor dua biji". Kata Ariah sambil menyerahkan dua butir telur ayam hutan kepada kakaknya.

"Arie, ngomong-ngomong Mpok ikhlas deh Arie kawin sama Tuan yang punya rume. Mpok enggak ape-ape dilangkahin. ini 'kan buat kebaikan kita. Kalau Tuhan ijinkan, suatu hari juga mpok dapat jodoh, Arie".

Kakak perempuan Ariah berkata sambil membesarkan nyala api di dapur.

"Mpok jangan begitu dong. Kagak baik Pok, kagak baik. Arie kawin duluan ngelangkahin Mpok. Arie kagak bakalan kawin sebelum Mpok berume-tangge".

Air mata Ariah membanjir di pipinya seraya mengucapkan katakata itu.

"Arie, Mpok ikhlas, Mpok redo, ude dong jangan menangis. Kita mau bilang apa lagi, Arie, kita miskin. Orang miskin kagak punya hak ape-ape Arie, melengken nurutin kemauan orang".

"Pok, maapin Arie, biar bagaimana Arie sudah membuat keputusan. Ape bole lantaran kite miskin kite jual semua hak kite termasuk perasaan. Biar kite miskin, Pok, kite kudu jaga perasaan. Arie kagak kuat melihat hati Mpok luka. Biar bagaimana juga Mpok tentu luka melihat Arie kawin duluan, Pok. Hati Mpok bakalan keiris-iris lihat Arie di puade. Sebagai anak perempuan Betawi Mpok tabah, tapi sampe dimane Pok, sampe dimane Mpok bisa tahan ngeliat orkes hermunium rnaen ngehibur tamu-tamu yang dateng ke perkawinan Arie. Pok, Arie kagak lupa sarna Mpok. Mpok yang ajar Arie maen ci ci putri. Kalau Arie nangis lantaran lapar, Mpok hibur Arie sambil maen pong pong balong. Pok jangan korbanin perasaan Mpok, jangan Pok. Biar Mpok redo, Arie yang kagak redo".

Ariah meninggalkan kakaknya menuju pangkeng. Ia rebahkan dirinya di pangkeng sambi! menangis tersedu sedan.

Mak Emper menghampiri Ariah. Ia duduk di samping pangkeng sambil membelai rambut Ariah.

"Arie, denger kata Mak. Mak ude tua. Kalau Mak mati, ape jadinye semue".

"Mak, duduk yang lama di sini Mak. Kayaknya besok Arie kagak bakalan ngerasain lagi tangan Mak ngerabe rambut Arie".

"Arie ngomong ape sih, Arie kagak sayang sarna Mak ?"

"Ude deh, Mak" Ariah berkata lemah, lalu tertidur.

Seperti biasanya, pagi-pagi Ariah meninggalkan rumah untuk mencari kayu bakar, satur-sayuran, dan telur ayam hutan. tetapi tidak seperti biasanya, pagi hari itu sebelum meninggalkan rumah Ariah mencium tangan Mak dan kakaknya lama sekali, serta memandang wajah mereka tak putus-putusnya. Dan tanpa mengucapkan sesuatu perkataan ia berlalu dari emperan rumah.

Ariah berjalan menuju Ancol dengan langkah yang enteng. la melihat-lihat pekerja yang sedang membuat jalan kereta api. Langkah dilanjutkan menuju Utara. Setibanya di sebuah tempat yang bernama Bendungan Melayu, Ariah membuka timbelnya. la makan dengan lahap. Ariah duduk termangu sambi! merapihkan bekas makannya. Dari kejauhan ia mulai mendengar debur ombak. Hari telah sore.

Ariah bangkit melanjutkan perjalanannya. Bendungan Melayu ditinggalkan. la tiba di Ancol. Hari semakin gelap. Laut terhampar di hadapannya. la tak ingin kembali pulang, tapi juga tak tahu kemana lagi harus melangkah. Angan-angannya berlayar, tapi kemana.

"Hey, anak perawan daTi mane lu?"

Tiba-tiba dari sela-sela pokok kayu muncul dua sosok laki-laki berbaju hitam-hitam. Ariah terdiam.

"Ikut gua, lu".

Seorang yang tubuhnya kekar menggamit tangan Ariah.

"Saya mau dibawa kemana, Bang?"

Ariah berusaha mengelak.

"Ah diem, lu. Pendeknya lu bakal idup enak di Bintang Mas".

Yang seorang lagi berkata sambi! mengibas-ngibas goloknya.

"Kagak mau, kagak mau". Ariah meronta-ronta.

"Banyak omong lu, dasar orang miskin, mau dikasi senang lu kagak mau".

Tubuh Ariah dihempaskan ke tanah.

"Abisin aja, Bang, ni bocah". dan dua sabetan golok mengakhiri hidup Ariah.

Kedua laki-laki itu yang ternyata Pi'un dan Sura setelah membunuh Ariah menggotong jenasah Ariah ke pinggir laut, jenasah gadis malang itu dilemparkannya.

Pi'un dan Sura kaki tangan seorang pemuda kaya raya bemama Tambahsia. Tambahsia bertabiat buruk. Ia mernpunyai kesenangan mernperkosa
perempuan di villanya di Aneal yang bemama Bintang Mas. Tugas Pi'un dan Sura mencari perempuan untuk dimangsa majikannya. Akibat perbuatan
Tambahsia yang sernacam ini pada suatu hari membawa Tambahsia ke tiang gantungan. Mernang banyak sekali perernpuan yang menjadi korban
Tambahsia. Ia berurusan dengan polisi. Pengadilan di Kota rnenjatuhkan hukuman mati gantung kepada Tambahsia. Tambahsia menjalani hukuman gantung pada tahun 1872 dalam usia 29 tahun. Begitu juga Piun dan Sura harus menjalani hukurnan gantung kepala sarnpai mati. Ketiga penjahat itu
menjalani hukuman mati· di halarnan kantor rnahkamah di Kota.

Malam hari sepeninggalnya Ariah, Mak Emper dan kakak Ariah tidak tidur menunggu pulangnya Ariah. Hari demi hari, bulan demi bulan,tahun demi tahun mereka menunggu. Dan Ariah tak pernah kembali.

Pada suatu malam Mak Emper duduk bersedih memikirkan kakak Ariah yang dilamar orang. Meski biaya pesta perkawinan menjadi tanggungan keluarga calon suami, tetapi sebagai orang tua Mak Emper merasa berkewajiban untuk menyiapkan makanan menyambut calon besan dan calon menantunya yang akan datang ke rumahnya untuk mengajukan lamaran secara resmi. Lelah berpikir, Mak Emper tertidur.

"Mak, jangan sedih Mak, jangan pikirin makanan buat sedekahan Mpok."

Ariah hadir dalam mimpi ibunya.

" Arie, Arie"

Mak Emper memanggil-manggil anaknya.

"Iye Mak ini Arie, anak Mak. Mak jangan pikirin Arie. Idup Arie senang deh Mak. Tapi Arie ingat Mak, ingat Mpok. Makanya Arie datang, apalagi Mak lagi susah mikirin Mpok yang mau duduk nikah. Arie bakal bantu. Arie senang Mak, syukur deh Mpok nikah. Ude deh Mak, Arie pulang".

"Arie, Arie"

Mak Emper memanggil-manggil nama Ariah lagi.

"Mak, kok manggil-manggil Arie, bangun Mak ude beduk subu".

Kakak Ariah membangunkan Mak Emper.

"Mak ngimpiin Arie".

Kata Mak Emper kepada anaknya.

"Ngimpiin Arie, ape katenya Mak?"

Kakak Ariah bertanya. Mak Emper diam saja seraya berjalan menuju pintu ke luar rumah empernya.

"Astagfirullah al azim".

Mak Emper sangat terkejut melihat di depan rumahnya terdapat berpikul-pikul ikan laut serta sayur-mayur.

Begitulah kisah Ariah. Di jaman sekarang orang menyebut dia Maria, Mariah, atau Mariam. Boleh dikatakan tidak ada gadis Betawi jaman dulu bernama Maria, Mariah, atau Mariam. juga di jaman sekarang orang mengatakan Ariah menjadi setan Ancol, Ariah tidak menjadi setan. Ia adalah pejuang perempuan yang mempertahankan martabat dan harga dirinya. Ia gugur sebagai pejuang yang mempertahankan kehormatan dan harga diri perempuan.

Kematian Ariah memang akhirnya menjadi dongeng. Banyak orang Betawi pesisir yakin bahwa Ariah, yang diberi nama julukan si Manis, itu menjadi penguasa laut Utara. Dan banyak orang Betawi pesisir yang tidak menyebut nama aslinya, melainkan si Manis saja. Diyakini si Manis mempunyai pengawal yang gagah berani. Pengawal itu adalah makhluk dari alam lain. Mereka adalah si Kondor, yaitu siluman monyet, si Gempor, si Gagu, dan Tuan Item. Wallahu'alam. hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.



Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi