'Naar Boven' ke Tanahabang, Jangan Lupa Membatik

Sabtu, 13 Februari 2010


Tanah Abang dilihat dari dataran tinggi Weltevreden dengan Trem Elektrik milik Bataviasche Elektrische Tram Maatschappi.


LORD George Macartney, sempat mampir ke Batavia di sekitar akhir abad 18, tepatnya di tahun 1793. Ia bahkan sempat menikmati pesta yang luar biasa mewah, anggur Madera (Madeira) – anggur beken asal Portugis – pun tak henti dituang bagi duta pertama Inggris untuk China itu. Pergelaran wayang China dan atraksi kembang api yang bagaikan letusan gunung api menambah meriah suasana. Dan pastinya, yang tak terlewatkan, dansa dansi sampai pagi.

Demikian sepenggal kisah Lord Macartney di Batavia, dalam rangka menuju China. Rangkaian kegiatan di Batavia ditulis Macartney dalam sebuah jurnal. Jurnal itu ditulis ulang oleh Junus Nur Arif dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe. Ketika kapal Lion, kapal yang ditumpangi Macartney mendekat ke daratan, pejabat Belanda pun sibuk menyambut. Pesta hingga subuh itu digelar di rumah kediaman seorang anggota dewan Belanda, Wiegerman. Kediaman Wiegerman berada di luar Kota Batavia, di kawasan yang disebut udik, bernama Tebanang, De Nabang, atau Tanahabang. Dari Batavia ke Tenabang, orang biasa menyebut, naar boven.

Dalam beberapa referensi tentang sejarah Tanahabang, nama Tanahabang mulai muncul di abad 17. Diduga, nama itu berasal dari tentara Mataram yang datang menyerbu VOC di Batavia tahun 1628.  Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Kawasan ini juga dialiri Kali Krukut. Di masa itu yang namanya Tanahabang meliputi hingga kawasan Weltevreden, Molenvliet West sampai Rijswijk.

Sebuah foto dari tahun 1875, koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribbean Studies)  atau Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, menunjukkan gardu penjagaan yang berbentuk seperti kotak lengkap dengan dua nama di pojok kiri dan kanan atas yaitu Tanahabang dan Rijswijk. Di masa itu, rumah gardu memang dibangun pada jarak-jarak tertentu.

Referensi lain menyebutkan, nama Tanahabang resmi digunakan setelah Jawatan Kereta Api membangun stasiun kereta api di tahun 1890. Stasiun itu kemudian diberi nama Tanahabang, bukan Tenabang (dari De Nabang, nama sejenis pohon yang banyak tumbuh di daerah itu) seperti yang selalau disebutkan warga kala itu.














Tanah Abang West (Jl Abdul Muis) di sisi kiri ada kanal, tahun 1860-an.



Kawasan luas itu memerlukan lalulintas penghubung, yaitu kanal. Satu nama yang tak bisa dilupakan dalam pembuatan kanal di Batavia adalah Kapitan China Phoa Bing Gam. Pada 1648 ia menggali terusan di Molenvliet sampai ke Kali Ciliwung di sisi timur, ke barat hingga ke ujung Kebon Sirih – kini got yang mengalir di sepanjang Jalan Tanah Abang Timur/Abdul Muis.

Tak hanya urusan kanal, Bing Ham juga mengupayakan perkebunan tebu dan pengolahan gula. Dari sinilah muncul pula pabrik arak. Dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Bondan Kanumoyoso mencatat,  di Batavia ada dua perusahaan dagang milik Belanda yang memproduksi minuman beralkohol (arak), RF Van der Mark dengan pabrik minuman mengandung alkohol (Batavia Arak Maatschappij) dan Handels Vereeniging dengan pabrik Oost-Indie minuman beralkohol (Arak Fabriek Aparak).

Kisah tentang Tanahabang pastinya lumayan bertumpuk. Ada satu kisah tentang sebuah gedung yang semula dimiliki warga Prancis dan kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942, bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1947, rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial. Tahun 1952 Depsos justru membelinya dan bulan Oktober 1975 diserahkan ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Museum yang di bagian depannya masih saja dihiasi pedangang kaki lima, dan berada di kawasan kumuh di Jalan Petamburan, itu tak lain adalah Museum Tekstil.

Di sini, pengunjung bisa melihat koleksi alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional) serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada. Selain itu tersimpan pula Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon dan kain adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Tak ketinggalan koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam. Di museum ini pengunjung juga bisa belajar membatik.


Sumber : Pradaningrum Mijarto ( Warta Kota )

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi