Judul
-
▼
2010
(31)
-
▼
Januari
(26)
- Gedung Kesenian Warisan Raffles
- Trem Mester-Pasar Ikan
- Kali Opak Jejak Sejarah Jakarta
- Kali Jodo dan Jembatan Jassen
- Jan Pieterzoon Coen di Departemen Keuangan
- Menelusuri Kawasan Noorwijk
- Jembatan Prapatan-Kwitang pada 1920-an
- Hotel Des Indes Sebelum Digusur
- Harmoni di Rijswijkstraat
- Balai Kota VOC dan Gereja Belanda
- Jembatan Willem di Depan Istiqlal
- Arsitektur Rumah Betawi
- Lenong Preman
- Lenong Denes
- Lenong
- Cokek
- Langgar Tinggi & Masjid Tertua di Jakarta
- Uitkijk, Menara Miring Kubu Batavia
- Kue Pengantin Betawi: Pantangan Dilanggar, Kue Gagal
- Du Bus, Pater Dijkmans, dan Katedral Jakarta
- Di Meester Cornelis, Cornelis Senen Bersua Daendels
- Mengenal Perbankan Masa Lalu
- Dodol Nyak Mai yang "Bersejarah".
- Masyarakat dan Budaya Betawi
- Legenda Jatinegara
- Romansa Trem Batavia
-
▼
Januari
(26)
Kelompok
- Anak Betawi (3)
- Bangunan Sejarah (15)
- Cerita Betawi (3)
- Gubernur (13)
- Kampung Tua (11)
- Kesenian (9)
- makanan (2)
- Sejarah (37)
- Wilayah (1)
Nimbrung
|
Mau Kenal
- Wahyudin
- Generasi yang masih cinte ame budaye serte adat istiadatnye.....Betawi
Arsitektur Rumah Betawi
Sabtu, 23 Januari 2010
berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya. Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian
menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah. Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.Ridwan mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi.Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah.
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002
Diposting oleh Wahyudin di Sabtu, Januari 23, 2010
Label: Bangunan Sejarah, Sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar