Gedung Kesenian Warisan Raffles

Sabtu, 30 Januari 2010




Jembatan Pasar Baru, Jakarta Pusat diabadikan pada 1880

Jembatan Pasar Baru, Jakarta Pusat diabadikan pada 1880. Di samping kanannya tampak Gedung Kesenian yang dibangun pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816). Dimasa kolonial bernama shouburg. Jalan raya disebelah kiri Pasar Baru dulu bnernama Schoolweg atawa Jalan Sekolah. Karena pada awal abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda mendirikan beberapa sekolah diantaranya Europese Lager School yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang Belanda.Tampak jalan-jalan masih diterangi oleh lampu gas. Lampu gas mulai nongol di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1863. Pertama kali menerangi Istana Risjwijk (kini Istana Negara) pada Oktober 1863, satu tahun setelah berdirinya Perusahaan Gas Hindia Belanda di Gang Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di sebelah kiri Jl Gajah Mada dari arah Harmoni. Kini menjadi Perum Gas Negara. Gas menggantikan minyak tanah dan lilin untuk penerangan di rumah-rumah, kantor, pusat perdagangan dan perhotelan.Dalam foto terlihat bagaimana asrinya sekitar Pasar Baru dan Lapangan Banteng dengan pohon-pohon asem di kiri kanan jalan. Sementara kendaraan bermotor belum tampak. Juga tidak terdapat para pedagang kaki lima yang kini mendominasi trotoar di sekitar Pasar Baru hingga Lapangan Banteng dan Jl Gunung Sahari.Gedung Kesenian di Pasar Baru semula hanya terbuat dari bambu beratapkan rumbia. Tentara Inggris membangunnya khusus untuk tempat pementasan perkumpulan drama mereka ketika bercokol di Jawa (1811-1816). Para prajurit Inggris sesuai dengan pimpinannya Sir Thomas Raffles, sangat menyukai kesenian. Buktinya, setahun setelah mereka mendarat di Batavia sejumlah perwira bujangan sudah menyalurkan bakat dan minat mereka.Pada malam peresmian Gedung Kesenian dipentaskan drama Othello karya sastrawan terkemuka William Shakespeare. Seperti juga bioskop yang muncul akhir abad ke-19, penonton pria dan wanita dipisah. Pada zaman Jepang (1942-1945), acara-acara di Gedung Kesenian diisi seniman muda seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, H.B. Yassin, Soeryo Soemanto, D. Djayakjuysumah, Kusbini dan Cornel Simanjuntak.Pada 29 Agustus 1945 di gedung ini berlangsung sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) semacam parlemen sekarang. Dihadiri Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Ketua KNIP Kasman Singodimedjo dari Partai Masyumi. Seorang turis Eropa yang datang ke Batavia setelah peresmian menilai gedung kesenian ini tidak kalah menariknya dari gedung kesenian serupa di Eropa.

Sumber :

Trem Mester-Pasar Ikan








Trem Uap Abad 19







Trem lijn (jurusan) I baru tiba di halte (terminal) Meester (Kampung Melayu) dari Pasar Ikan. Sang masinis turun untuk minum secangkir kopi di depan terminal yang berhadapan dengan bioskop Nusantara (kini jadi pertokoan) itu. Sementara, sang kondektur tengah menghitung duit logam picisan (10 sen) yang bentuknya sedikit lebih kecil dari uang Rp 50. uang hasil narik dari Pasar Ikan ke Mester.Satu persatu penumpang rebutan naik. Hanya dalam beberapa menit trem sudah penuh. Tapi, sang masinis yang rambutnya cepak meniru rambut Tony Curtis, bintang Hollywood yang kesohor ketika itu, belum naik ke lokomotif. Rupanya sang masinis masih menikmati kopi dan ngobrol bersama rekan-rekannya. Di gerbong yang padat seperti KRL, beberapa penumpang dengan beragam dandanan dan kebanyakan berpakaian baru karena habis lebaran, mulai tidak sabar."Trem ayo jalan," teriak seorang penumpang yang disusul dengan penumpang lainnya.

Seorang bapak berpakaian baju tikim warna hitam dan kopiah hitam muncul. "Assalamu'alaikum", teriaknya dan satu persatu penumpang diajaknya berjabat tangan. Disambut para penumpang dengan senyum. Beberapa pemuda yang mengenakan pakaian jengki dan berjaket meniru gaya aktor James Dean dalam film Giant tertawa terkekeh-kekeh. Termasuk sang kondektur.Untungnya, ada seorang bapak yang ingin ziarah ke Luar Batang di Pasar Ikan tak tega melihatnya. "Pak, gak usah salaman. Terompanya juga jangan dilepas. Ini bukan masigit.Tapi kendaraan kita, warisan Belanda.

Neng-neng-neng-neng.

Trem mulai melaju. Kemudian berhenti di Pasar Jatinegara. Seorang nyonya Cina naik membawa sekeranjang barang untuk dijual kembali di warungnya. Menyusul beberapa orang ibu berkain batik, berkebaya dan berkerudung, masuk ke trem. Mereka mau ke CBZ (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo - RSCM). Mau bezoek temannya yang keseruduk oplet. Untung lukanya tidak parah, hanya besot-besot dan lecet-lecet. Tidak sampai geger otak. Setelah melewati Salemba dan Gang Kenari, trem kemudian berhenti di halte Kramat depan bioskop Rivoli. Bioskop ini tengah memutar film Awara, yang dibintangi Raj Kapoor dan Nargis. Raj Kapor adalah ayah Rishi Kapoor, bintang 1970-an. Keduanya pernah datang ke Indonesia. Kini cucu-cucu Raj Kapoor, seperti Kharisma dan Kharina Kapoor, menjadi artis papan atas di Bollywood.

Neng-neng-neng-neng.

Trem berhenti di depan bioskop Grand. Manusia tampak berdesak-desakan untuk antre karcis. Maklum yang diputar film cowboy High Noon dengan aktor Carry Cooper. Mereka yang tak kuat ngantre terpaksa beli karcis catutan. Grand bioskop didirikan tahun 1920-an tidak lama setelah berakhirnya film gagu (tanpa suara). Kemudian trem berhenti di halter Pasar Senen. Banyak penumpang turun ingin belanja di Toko Baba Gemuk (kini pertokoan Ramayana) yang terkenal ketika itu. Ketika menyelusuri Jl Tanah Nyonya (kini bagian Jl Senen Raya) trem berhenti. Ada becak yang jalan pelahan di depannya. "Hai becak! Apa lu kagak bisa minggir," teriak kondektor sewot. Tukang becak menjawab dengan adem, "Gua sih bisa. Lu yang kagak."

Ketika tiba di Pasar Baru, kembali penumpang yang naik dan turun saling serobot. Banyak ibu-ibu yang turun ingin belanja di Toko De Zon (kini Toko Matahari). Dimulai dari Pasar Baru, pertokoan Matahari kini memiliki ratusan toko di seluruh Indonesia. Kala itu, Pasar Baru merupakan pertokoan paling bergengsi di Jakarta. Dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota lama di Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan shopping warga Barat dibukalah Pasar Baru dan sejumlah bioskop di dekatnya. Setelah melawati Pecenongan dan Sawah Besar, trem membelok ke Gang Ketapang. Setelah melintasi Olimo di Jl Hayam Wuruk, trem berhenti di halte Lindeteves tidak jauh dari China Town (Glodok). Lindeteves adalah nama salah satu dari lima perusahaan besar Belanda, disamping Borsumij, Geowehry, Internatio dan Van Gorkom. Kelima perusahaan inilah yang mengatur ekspor impor dan distribusi bahan-bahan pokok ke seluruh Nusantara. Kelimanya diambil alih 19567 ketika hubungan RI - Belanda memburuk karena sengketa Irian Barat (Papua).

Neng-neng-neng-neng.

Memasuki Glodok yang sejak dulu selalu hiruk-pikuk, trem sering tehenti karena padatnya lalu lintas. Terutama becak yang membelok seenaknya. Di tempat yang sekarang terdapat pertokoan Harco dulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Cina, terutama cerita jago-jago silat Bu Tong Pay dan Siaw Liem Soen. Banyak penumpang turun di Glodok bukan untuk nonton film, tapi membeli obat-obatan Cina. Ada belasan sinshe dan rumah obat Cina terdapat di sini. Di sekitar sinilah dua surat kabar Cina berbahasa Melayu rendah Keng Po dan Sinpo dicetak. Trem kemudian melewati Beos (Stasiun KA) dan Gedung Bicara (bekas kantor walikota VOC) yang kemudian menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta. Kemudian sampailah trem di perhentian terakhir halte Kota Inten di Pasar Ikan. Inten adalah nama benteng yang didirikan VOC. Orang piknik ke Pasar Ikan untuk menyaksikan akuarium, tempat muda-mudi tempo doloe berpacaran. Sebagai oleh-oleh dari Pasar Ikan orang membeli congklak, bijinya dari kerang. Atau membeli akar bahar untuk mereka yang kena rematik.


Sumber : Alwi Shahab

Kali Opak Jejak Sejarah Jakarta







Kali Opak Jakarta Abad 19

Foto abad ke-19 ini menunjukkan puluhan kapal layar yang mengarungi lautan di Nusantara tengah berlabuh di Kali Opak (anak sungai Ciliwung di sebelah barat Kali Bear, Jakarta kota.Tak disangsikan lagi, kawasan Kali Opak dan sekitarnya ditinjau dalam konstelasi kesejarahan memiliki nilai yang unik.Di sinilah kita menjejak situs situs yang menjalin benang sejarah Kota Jakarta, yang kini menjadi kota megapolitan dengan penduduk belasa juta jiwa.Dan, masih akan terus bertambah.Di barat Kali Opak diperkirakan letak kota perjuangan Jayakarta. Di ujung utara dari tempat ini merupakan pelabuhan,dan di selatan terdapat keraton terdiri atas perumahan para bangsawan, masigit, pasar, dan alun-alun. Di sebelah timur Kali Opak diperkirakan bekas benteng Fort Jacatra yang kemudian dikembangkan jadi Kastil Batavia. Kastil dilengkapi dengan bastion (benteng pertahanan), yang kini masih tersisa adalah benteng Kota Intan, yang menjadi terminal angkutan Jakarta kota. Terletak di sisi Kali Opak.Dimulai dari kota tua ini,perjuangan telah menjadi bagian hidup kota Jakarta yang kini tengah menuju statusnya sebagai kota dunia. Kini,Pemprov DKI Jakarta berupaya melakukan revitalisasi kota tua yang terletak di tepi pantai. Jakarta, tampaknya memang ditakdirkan untuk menoleh kembali ke laut, ke tempat perjuangan para leluhurnya. Di laut adalah tempat para pendiri kota berjuang untuk melahirkan sebuah kota bernama Jayakarta (22 Juni 1527). Sayangnya, Ciliwung dan 12 buah anak sungai di Jakarta sudah berubah fungsi menjadi got (selokan) besar. Akibat industri membuang limbah dan ratusan ribu masyarakat menduduki bantarannya,menyebabkan sungai-sungai rawan banjir. Realita faktual menunjukkan bahwa wajah Jakarta yang pada abad ke-19 pernah dijuluki Ratu dari Timur (Koningen van Het Oosten),kini makin kumuh. Dalam upaya menarik wisatawan asing sebanyak mungkin,Pemda DKI terus melakukan revitalisasi terhadap kawasan kota tua, yaitu seluruh kawasan yang bersejarah di antaranya Sunda Kelapa, kota lama Jakarta, dan Pantura (Kota Pantai Jakarta abad ke-21).

Sumber : Alwi Shahab

Kali Jodo dan Jembatan Jassen

Nama Kali Jodo di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, sudah ada sebelum menjadi tempat lokalisasi WTS atau sekarang PSK. Sejak terjadi perkelahian antar geng dan pembakaran rumah beberapa tahun lalu, pihak kepolisian meminta agar lokalisasi tersebut ditutup.
Kali Jodo pernah diusulkan untuk dijadikan tempat kegiatan keagamaan, seperti yang telah dilakukan di Kramat Tunggak, Jakarta Utara, dengan dibangunnya Islamic Centre. Masyarakat mendukung dan tengah menunggu bila tempat maksiat tersebut dijadikan pusat kegiatan keagamaan. Semasa gubernur Sutiyoso juga ada rencana untuk menjadikan tempat lokalisasi Boker, di Cijantung, Jakarta Selatan, menjadi Islamic Centre.
Orang Jakarta sejak tempo doeloe menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Mungkin di kali ini dulu seringkali para gadis dan pria berpacaran dan berakhir dengan perjodoan. Dulu di kali ini tiap tahun diselenggarakan pesta  peh coen   hare ke-100 Imlek (tahun baru Cina). Pesta ini menarik para muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian seperti barongsai dan pesta  ngibing diiringi gambang keromong. Banyak  taipan yang menjadi sponsornya.   
Pusat Perdagangan Harco di Glodok, Jakarta Barat, baru dibangun pada masa Orde Baru, saat Indonesia membuka diri di bidang ekonomi, sehingga banyak berdatangan modal asing. Pada masa Bung Karno, Indonesia memegang prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi.
Begitu meriahnya pembeli yang mendatangi pusat perdagangan elektronik itu hingga namanya dikenal di mancanegara. Pusat perdagangan Harco dibangun tahun 1970-an berbarengan dengan pusat perdagangan dengan nama yang sama di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pemborongnya H Abubakar Bahfen, seorang keturunan Arab.
Sebelumnya, pusat elektronika Harco merupakan bagian dari Markas Polisi Seksi II  semacam Polsek sekarang. Banyak pejuang kemerdekaan yang mendekam di penjara polisi ini, karena menentang pemerintah kolonial. Termasuk Drs Muhammad Hatta yang dipenjarakan tahun 1934 karena kegiatan politiknya. Kemudian sang proklamator ini dibuang ke Boven Digul yang merupakan pusat konsentrasi tahanan politik dan dikenal sebagai sarang malaria.

Di pusat perbelanjaan ini dahulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Mandarin dari Hongkong. Penontonnya kebanyakan warga Tionghoa. Di dekatnya di jalan yang sama (Jl Hayam Wuruk) terdapat tempat hiburan Thalia yang memutar opera-opera Stambul (dari kata Istambul di Turki).
Di seberangnya ada Jalan Gajah Mada. Di sini terdapat bekas kediaman Mayor Cina, Khouw Kim An, yang dulun merupakan gedung paling indah di Jakarta Kota. Kini menjadi gedung bertingkat 30 yang dibangun oleh Modern Group. Banyak yang menyesalkan tempat bersejarah ini diruntuhkan begitu saja. Rumah bergaya negeri leluhur ini punya puluhan kamar. Karena, ia memiliki banyak istri dan selir, yang hidup dalam satu gedung. Kebiasaan yang dianggap umum kala itu.           
Di dekat stasion kereta api BEOS, Jakarta Kota, seberang Gereja Portugis (Sion), terdapat jembatan Jassem (kini Jembatan Batu). Pada  tempo doeloe masyarakat sering menyaksikan pesta-pesta meriah di sekitar jembatan ini. Seperti saat pelantikan kapiten Cina ke-12 Lim Bengko pada masa gubernur jenderal Van der Parra (1771-1775). Pawai besar diikuti oleh musik, barongsai, nyanyian, dan tarian, yang diikuti ratusan pengarak, dimulai dari jembatan ini keliling Jakarta Kota.
Masih di kawasan Glodok, terdapat Jalan  Jie Lak Keng . Orang menyebutnya Jl Jelakeng, artinya tempat nomor 26. Di sini ada perkumpulan silat  Pa Te Koan yang artinya delapan pendekar. Ketika terjadi pembantaian orang-orang Cina (1740), banyak suhu tewas melawan Belanda. Maka, di dekatnya ada Kampung  Pa Tie Kei (delapan jenazah).
Ada juga yang mengatakan  Pa Te Koan berarti delapan teko. Karena, istri seorang kapiten Cina yang dermawan tiap hari menyediakan delapan teko teh di depan kediamannya untuk mereka yang lewat. Ketika itu daerah ini masih sepi, belum ada yang menjual makanan dan minuman.
Terletak di sebelah kiri Jl Pangeran Jayakarta, kurang lebih satu kilometer dari Stasion Beos terdapat Jl Taruna  jalan sempit yang tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Dulu jalan ini bernama Jl Souw Beng Kong  nama Kapiten Cina pertama yang dimakamkan di sini. Dia diangkat oleh gubernur jenderal JP Coen pada tahun 1619 setelah hijrah ke Batavia dari Banten.
Kini makam tersebut hanya tinggal batu nisannya. Karena, seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah penduduk. Sampai pertengahan 1960-an di tiga RT di kawasan ini seluruhnya merupakan tempat pemakaman orang-orang Cina. Ia pernah membangun sebuah wisma mewah di dekat kastil (benteng) di Prinsenstraat (kini Jl Cengkeh) Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Kaum Cina perantauan ( hoakiau ) pada umumnya bangga menjadi ahli waris kebudayaan leluhurnya. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew yang dianggap sebagai bapak bangsa Singapura pernah mengemukakan, "Adalah Konfusionisme yang menjalin persatuan dalam keluarga, yang pada gilirannya membesarkan anak cucunya menjadi cendekiawan yang tangguh, tahan banting dalam menghadapi tantangan. Kita adalah contoh hidup dari rakyat Cina, yang berkat ilham dan kebudayaan Cina, maka dapat berprestasi gemilang."


Sumber : Abah Alwi
http://koran.republika.co.id/berita/93814/Kali_Jodo_dan_Jembatan_Jassen 

Jan Pieterzoon Coen di Departemen Keuangan

Ketika Gubernur Jenderal Marsekal Herman Daendels (1808-1811) menghancurkan kastil di kota bertembok Batavia (sekitar Pasar Ikan)  Jakarta Utara, dia memindahkan pusat kota ke Weltevreden sekitar belasan kilometer dari kota lama. Di sini, Daendels, pengagum Kaisar Prancis Napoleon Boneparte, membangun pusat administrasi dan istana yang kini menjadi Departemen Keuangan di Jl Lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat. Tapi, gedung mewah ini baru selesai secara keseluruhan 20 tahun kemudian. Sementara itu, Daendels sudah dipanggil pulang. 

Karena urung menjadi istana, sayap sebelah kiri gedung yang berhadapan dengan Lapangan Parade Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), sebelum menjadi Departemen Keuangan, digunakan sebagai tempat penginapan para tamu pejabat Pemerintah Belanda. Pada 1839, bagian bawah gedung dimanfaatkan untuk Kantor Pos dan percetakan milik negara. Pada 1 Mei 1848, sebagian bangunan 'istana' yang dinamakan 'Gedung Putih' resmi dipakai untuk Departemen van Justitie (Mahkamah Agung) dan setelah kemerdekaan digunakan sebagai Departemen Keuangan hingga kini. 
Pada tahun 1869, bertepatan dengan 200 tahun usia Kota Batavia (Belanda tidak mengakui berdirinya Jayakarta pada 22 Juni 1527), diperingati peristiwa saat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Jayakarta. JP Coen oleh masyarakat Belanda dianggap sebagai gubernur jenderal yang berjasa dalam merintis penjajahan Belanda di nusantara. 
Peresmian Monumen JP Coen diselenggarakan dalam suatu acara yang meriah dan dihadiri hampir seluruh masyarakat Belanda di Batavia. Patung Coen yang memakai pakaian kebesarannya berdiri angkuh dengan tangan sambil menunjuk itu dihancurkan pada 7 Maret 1943 pada masa pendudukan Jepang. Berlainan dengan saat peresmian, ketika monumen ini dihancurkan, masyarakat bertepuk tangan karena lambang kolonialis dihancurkan dari bumi Indonesia. 
Ketika 'istana besar' ini dijadikan sebagai kantor pemerintahan, di bagian belakang terdapat tempat parkir kereta kuda angkutan pada masa itu. Di samping kanan gedung Depkeu, dahulunya terdapat klub militer 'Concordia' yang kemudian menjadi tempat sidang-sidang DPR pada masa kabinet parlementer sebelum dibangun gedung MPR/DPR di Senayan. Kini, bekas klub militer Concordia menjadi bagian dari Departemen Keuangan. 
Di Departemen Keuangan inilah, masalah-masalah keuangan negara diolah dan diputuskan sejak tahun 1950-an hingga sekarang.



Sumber : Alwi Shahab, wartawan Republika

Menelusuri Kawasan Noorwijk

Dengan menggunakan kereta yang ditarik dua ekor kuda (lihat foto), kita akan menelusuri kawasan Noordwijk (kini Jalan Juanda), Jakarta Pusat. Di sini dan di seberangnya Rijswijk (kini Jalan Veteran), yang dipisahkan oleh kanal sodetan Ciliwung, bersama dengan Molenvliet (Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada) serta Harmonie merupakan kawasan yang dibanggakan dan menjadi pintu gerbang Kota Batavia. Bahkan, Belanda ingin mengembalikan Batavia sebagai  Queen of the East yang pernah disandangnya pada abad ke-18 ketika membangun  Weltevreden (daerah lebih nyaman) sekitar 10 km dari kota tua.

Di Noordwijk, pada masa kolonial merupakan pusat perbelanjaan termewah di Batavia. Di sebelah kiri gedung dengan arsitektur masa lampau, itu terdapat Gang Thibeult (warga Betawi menyebutnya Gang Tibo), yang kini menjadi Jalan Juanda III. Dari nama Alfred Thibault, pengelola Club Harmonie (kini bagian dari Istana Kepresidenan yang diperluas). Sulit dibayangkan Noordwijk yang pada masa kolonial merupakan daerah yang menyenangkan, menjadi salah satu pusat kemacetan di Jakarta. Untuk menyeberang jalan saja, kita harus ekstra hati-hati karena kendaraan yang tidak pernah henti.

Kembali ke Jalan Juanda (Noordwijk) masa kolonial, di sini terdapat Hotel Emst, Hotel de Galeries, Hotel de L'Europe, berbagai kafe yang menyediakan makanan Eropa, serta penjahit A Herment & Bastiere yang menyediakan pesanan baju untuk sipil dan militer. Di Noordwijk, juga terdapat toko buku dan percetakan Kolff yang kini menjadi kantor PT Astra. Di dekatnya hingga kini terdapat  Klooster Ursulin tempat pendidikan untuk para biarawati. Tempat pendidikan biarawati ini memanjang hingga bagian belakangnya terletak Jl Batutulis.

Pada masa Raffles (1811-1816), gubernur jenderal yang berambisi agar Hindia-Belanda terus dalam kekuasaan Inggris, telah menyulap Noordwijk dan Rijswijk menjadi kawasan Eropa. Untuk itu, pendiri kota Singapura ini telah menggusur tempat pemakaman umum, rumah penduduk, dan toko-toko milik Cina.

Charles Walter Kinloch, warga Inggris yang datang ke Batavia dari Singapura (1852), menyebutkan kehidupan elite Eropa dan Belanda penuh glamor. Wanitanya senang menggunakan  pettycoot dari sutra, seperti kita saksikan di film-film Hollywood yang mengisahkan abad ke-19. Mereka mendatangkan pakaian-pakaian mode terbaru dari Paris dan kota-kota besar Eropa lainnya. Pada malam hari, kelompok elite ini dihibur dengan pesta-pesta dansa dan menonton opera Prancis yang di Eropa sendiri masih langka. Dibukanya Club Harmonie dengan pesta-pesta taman yang selalu ramai memberi bobot pada kawasan ini.

Sumber :

Jembatan Prapatan-Kwitang pada 1920-an



Jembatan Prapatan-Kwitang pada 1920-an


Foto yang perkiraan tahun 1920-an adalah jembatan Prapatan-Kwitang, Jakarta Pusat. Jembatan yang masih tampak sederhana itu menghubungkan Pasar Tanah Abang-Pasar Senen. Di sebelah kiri yang dipenuhi pepohonan rimbun, sekarang ini berdiri Hotel Arya Duta, yang sebelumnya adalah rumah besar milik Dr Latif, ayah Herawati Diah, yang juga mertua BM Diah. Di sebelah kanan, sekarng terletak Markas Korps Marinir Angkatan Laut. Di seberang jalan raya, terletak Toko Buku Gunung Agung.

Kala itu, di jalan-jalan, rumah dan hotel masih menggunakan lampu gas seperti yang terlihat di atas jembatan. Sungai Ciliwung masih jernih dan lebar serta berperan penting bagi masyarakat untuk mandi, mencuci, dan buang hajat. Sekarang, Ciliwung kehilangan pamornya dan menjadi selokan besar. Dahulu, ketika kali masih dalam dan lebar, di sekitar Kwitang dan Prapatan, tiap tahun diselenggarakan pesta pehcun untuk memperingati 100 hari tahun baru Cina (Imlek). Pehcun merupakan karnaval perahu yang diramaikan musik dan tanjidor di atas perahu yang hilir mudik di Ciliwung. 

Di jembatan inilah, kira-kira Nyai Dasima, bekas istri piaraan seorang Inggris, dibunuh oleh jagoan Kwitang, Bang Puase. Mayatnya kemudian dibuang ke Ciliwung dari atas jembatan. Nyai Dasima dibunuh ketika hendak kondangan di Rawabelong, Palmerah, Jakarta Barat.

Gadis bahenol dari Kuripan, Ciseeng, Parung, Bogor, ini terbunuh saat naik sado bersama suaminya, Samiun. Samiun adalah tukang sado yang berhasil merebut sang nyai dari suaminya di Pejambon, yang terletak di bagian belakang gedung Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Kwitang, konon berasal dari nama seorang Cina, Kwee Tiang Kam, yaitu penjual obat tradisional yang masyhur. Saking terkenalnya, kediaman penjual obat ini disebut Kwitang. Kwitang makin dikenal di Jakarta dan mancanegara ketika almarhum Habib Ali Alhabsyi membuka majelis taklim di tempat ini pada 1920-an. Tiap Ahad pagi, majelis taklim ini dihadiri ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di Jabodetabek.

Sumber : Alwi Shahab, wartawan Republika

Hotel Des Indes Sebelum Digusur



Hotel Des Indes Sebelum Digusur


Dalam acara  Plesiran Tempo Doeloe yang diikuti lebih seribu peserta, , banyak yang menyayangkan Hotel Des Indes yang sangat bersejarah seperti terlihat dalam foto itu digusur dan dijadikan pusat perbelanjaan Duta Merlin.
Hotel yang paling megah di Batavia pada masa Belanda digusur pada 1971. Hotel yang terletak di kawasan Harmoni, tepatnya Jl Gajah Mada, pernah berfungsi sebagai tempat perjamuan negara Hindia Belanda dan tamu-tamu negara sebelum dibangunnya Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada 1962.
Kompleks Hotel Des Indes, yang berbatasan dengan Bank Tabungan Negara (BTN) di Jalan Jaga Monyet (kini Jl Suryopranoto) dan Chaulanweg (kini Jl Hasyim Ashari), pernah didatangi kepala-kepala negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955. Meski KAA berlangsung di Bandung, sebagian dari mereka tinggal di Hotel Des Indes Jakarta, demikian pula saat KIAA (Konferensi Isla Asia-Afrika).
Foto yang diabadikan pada 1930-an ini merupakan gedung baru Hotel Des Indes yang dirancang AIA Bureau dan selesai dibangun pada Maret 1930. Hotel yang telah beberapa kali mengalami perubahan ini didirikan pada abad ke-19 di atas tanah seluas 3,1 hektare. Ketika dibongkar pada 1971, hotel ini berusia 161 tahun. Sampai tahun 1960-an, Hotel Des Indes memfasilitasi acara-acara perkawinan masyarakat golongan atas. Berbagai pesta keramaian berlangsung di sini.
Walaupun dirancang dengan gaya arsitektur lebih modern, menurut Nadia Purwestri, direktur eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, bangunan ini tetap mempunyai teras yang lebar dan jendela-jendela besar sebagai ventilasi udara. Hal ini membuat ruang dalam tetap sejuk walaupun di luar panas.
Pada abad ke-19, saat jamuan-jamuan makan, termasuk makan malam, selalu disediakan es yang kala itu masih merupakan barang yang sangat mewah. Warga Barat yang umumnya tidak tahan terhadap udara panas selalu menyediakan es saat makan dan minum. Pada pertengahan abad ke-19, untuk meminum es, seseorang harus mendatangkannya dari Boston, AS. Orang Jakarta menyebutnya es batu yang sampai awal tahun 1960-an dijual di warung-warung Cina dan pedagang minuman di tepi jalan.
Dalam mengimpor es, diperlukan waktu hampir setengah tahun perjalanan dari Boston ke Batavia. Untuk pertama kalinya, kapal bermuatan es dari Boston berlabuh di Ceylon (Sri Lanka) pada April 1840. Lalu, mengapa harus mengimpor es ke nusantara?
Pada waktu itu, orang belum mengenal lemari es. Untuk mendinginkan minuman, orang menggunakan  koelbak , semacam peti yang dilapis timah hitam. Di dalamnya, diisi air dan  salpeter (semacam sendawa atau anorganik kimia). Untuk menghidangkan minuman dingin, orang membungkus botol minuman dengan kain dingin. Pabrik es baru pertama kali dibangun pemerintah pad tahun 1870 di Prapatan, Jakarta Pusat. Kemudian, di Petojo, Jakarta Pusat. Sampai awal 1970-an, kulkas merupakan barang mewah di Jakarta dan jarang yang memilikinya.

Sumber : Alwi Shahab, wartawan Republika
http://koran.republika.co.id/berita/99453/Hotel_Des_Indes_Sebelum_Digusur 

Harmoni di Rijswijkstraat

Harmoni di Rijswijkstraat


Kawasan Harmoni di Rijswijkstraat (kini Jalan Majapahit) Jakarta Pusat diabadikan pada awal abad ke-20. Sulit dibayangkan, kawasan yang begitu asri dan tenang sekitar tiga perempat abad lalu kini hiruk pikuk dengan kendaraan bermotor dan sangat macet.
Di sebelah kiri, terlihat Gedung Harmoni yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Marsekal Willem Herman Daendels (1809) dan diselesaikan oleh Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles (1815) pada masa Inggris. Untuk membangun gedung yang megah ini, Daendels mengambil bahan-bahan dari puing-puing di Kota Tua (sekitar Pasar Ikan), Jakarta Utara. Yakni, ketika ia menghancurkan gedung-gedung VOC di Kota Tua. Dia kemudian memindahkan pusat kota ke Weltevreden karena Kota Tua merupakan sarang penyakit.
Gedung Harmoni pada abad ke-19 merupakan rumah perkumpulan tertua di Asia untuk warga Barat. Di gedung ini, kelompok elite Belanda, termasuk para gubernur jenderal, dengan rileksnya menikmati angin segar sambil berdansa di atas batu pualam yang didatangkan dari Eropa.
Harmoni yang dibangun dalam Empire Style memiliki atap yang tinggi dan miring. Itu menunjukkan pengaruh Prancis. Rijswijkstraat, tempat Gedung Harmoni berada, merupakan pusat perbelanjaan dengan toko-toko Prancis (kini di Jl Abdul Muiis). Pada saat Daendels, hubungan Prancis dan Nusantara berkembang erat. Banyak pengusaha Prancis bergerak di bidang perhotelan, pemilik toko roti, toko kacamata, dan toko sepatu. Nama Rijswijk berasal dari kata rijst (persawahan) dan wijk (lapangan luas). Kedua kata tersebut menunjukkan keberadaan tempat ini sekitar dua abad lalu.
Dalam foto, terlihat sado atau delman yang bebas berlalu-lalang dan merupakan angkutan masa itu. Tampak lentera gas yang menerangi jalan-jalan raya pada masa itu. Di kanan, di antara gedung dan pertokoan, terlihat Apotek Rathkamp (kini Kimia Farma), apotek terbesar pada masa itu.
Gedung Harmoni yang bersejarah itu kini sudah merupakan bagian dari tempat parkir Sekretariat Negara. Termasuk, Hotel du Pavilion yang berada satu deretan di belakangnya. Hotel ini milik keluarga Sungkar Alurmei, kakak pembalap nasional Rifat Sungkar.

Sumber : Alwi Shahab - wartawan Republika
http://koran.republika.co.id/berita/100992/Harmoni_di_Rijswijkstraat 

Balai Kota VOC dan Gereja Belanda

Balai Kota VOC dan Gereja Belanda


Johannes Rach (1720-1783), mayor artileri VOC kelahiran Denmark, melukis   Balai Kota Batavia (dalam bahasa Belanda disebut stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta di Jalan Fatahillah 1, Jakarta Barat. Di sebelah kanan jajaran pohon kenari, terdapat Gereja Belanda Lama (Oude Hollandshe Kerk-1736-1808) yang kini menjadi Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara 27, Jakarta Barat. Balai Kota yang diresmikan pada 1710 merupakan balai kota baru setelah dibangun balai kota pertama tahun 1620 pada masa Gubernur Jenderal JP Coen. 
Sebelah kiri pepohonan rindang yang kini menjadi jalan lalu lintas padat, pada pertengahan abad ke-18, merupakan kanal (kali sodetan) yang diberi nama Tigersgrach atau Terusan Macan. Kanal yang berasal dari Ciliwung dan bermuara di Teluk Jakarta itu kini sudah tidak ada lagi.
Sampai awal abad ke-19, sebelum warga Eropa ramai-ramai meninggalkan kota tua, kawasan itu merupakan daerah elite. Gedung-gedung yang terlihat di sepanjang jalan adalah kediaman mereka. Sementara itu, Tigersgracht merupakan tempat rekreasi. Sambil mandi dan berenang, mereka bersampan di seputar kanal yang airnya masih jernih.
Di depan gereja, terlihat sebuah kereta kuda yang dinaiki kepala Pengadilan Belanda. Di belakangnya, ada dua orang budak yang siap memayunginya.
Kala itu, kebiasaan bagi pejabat VOC dan istrinya, bila bepergian, para budak belian akan memayunginya. Di tengah halaman balai kota, terlihat air mancur yang sekaligus menjadi tempat penjernihan air minum warga kota.
Balai Kota Jakarta pada masa VOC ini letaknya kurang lebih berada di tengah Kota Batavia, yaitu bagian Jakarta yang sampai 1809 dikelilingi tembok.
Gedung ini berhubungan erat dengan baik buruknya puluhan ribu warga Kota Batavia dari aneka suku bangsa. Balai kota selama dua abad memiliki berbagai fungsi, misalnya mengurus pernikahan dan pengadilan. Pada masa VOC (sampai 1800), keputusan hakim tidak selalu adil, bahkan sangat tidak adil. Mungkin, kondisi itu sama dengan mafia hukum pada saat ini yang tanpa mengenal malu memperjualbelikan perkara dengan cara menyogok hakim dan jaksa.
Di sebelah kanan balai kota dulu, terdapat tiang gantung untuk mengeksekusi orang-orang yang dikenai hukuman mati. Di bawah gedung ini, terdapat penjara bawah tanah yang menyeramkan dan sangat berbeda dengan Lapas Pondok Bambu. Di penjara wanita Pondok Bambu ini, seorang yang dijerat karena korupsi mendapat tempat layaknya penghuni hotel berbintang. Begitu juga di penjara-penjara lain yang kini tengah ditertibkan.

Sumber : Alwi Shahab

Jembatan Willem di Depan Istiqlal



Foto sekitar awal abad ke-20 ini menunjukkan suasana di Brug (Jembatan) Willemslaan (kini Jalan Perwira), Jakarta Pusat. Jembatan ini berada di atas Sungai Ciliwung yang berdampingan dengan Masjid Istiqlal saat ini.Melalui foto tersebut, terlihat beberapa orang tengah berdiri di jembatan. Saat itu, Sungai Ciliwung masih lebar dan dalam.
Di Jl Perwira sekarang ini, jembatan tersebut sudah tidak terlihat lagi. Letak Masjid Istiqlal yang mulai dibangun setelah Indonesia merdeka kira-kira berada di sebelah kanan taman dan pepohonan yang dulu. Sebelum dibangun Istiqlal, taman itu bernama Wilhelmina Park yang diambil dari nama Ratu Belanda Wilhelmina. Dia adalah nenek Ratu Beatrix dan ibu Ratu Juliana. Wilhelmina Park merupakan salah satu tempat rekreasi yang terkenal di Batavia tempo dulu. Di sini, terdapat kebun yang luas dan konon terdapat >bunkir>, semacam terowongan yang menembus hingga ke istana. Karena itu, orang Betawi menyebutnya 'Gedung Tanah'.
Nama Willemslaan (Jl Willems) diambil untuk mengabadikan nama raja Belanda. Dia adalah kakek Ratu Wilhelmina dan ayah Ratu Emma. Selama empat generasi, Belanda diperintah seorang ratu dan baru sekarang ini memiliki putra mahkota yang akan menggantikan Ratu Beatrix. 
Di sebelah kiri foto, terlihat sebuah pohon beringin besar. Kira-kira, di tempat inilah, pada tahun 1930-an, dibangun gedung Pertamina. PAda waktu bersamaan, di sebelahnya, terdapat gedung Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang pada masa Belanda merupakan kantor pusat KPM (Koninklike Paaketvard Matschapij). KPM ini memiliki lebih dari 100 armada samudra yang berlayar ke berbagai tempat di nusantara dan mancanegara. Setelah kemerdekaan, KPM dinasionalisasi dan menjadi Pelni (Perusahaan Pelayaran Nasional).
Willemslaan (Jl Perwira) pada masa kolonial merupakan kawasan yang elite dan asri karena sangat teduh. Sekarang, kawasan yang diberlakukan satu jalur ini sangat padat dan sebagian menjadi tempat parkir jamaah yang mengunjungi Masjid Istiqlal. Ketika hari-hari besar Kristen, seperti Natal, sebagian umat Kristiani memarkir kendaraannya di halaman Istiqlal sebagai lambang kerukunan beragama.
Pada masa kolonial, banyak nama jalan, jembatan, taman, dan lapangan yang diberi nama tokoh masyarakat Belanda. Misalnya, Juliana Weg (kini Jalan Slamet Riadi), Jan Pieterzoonweg (kini Jl Sultan Agung di Manggarai), Amsterdan Straat (kini Kalibesar Timur I), Benaris Gang (kini Jl Rawamangun), dan masih banyak lagi. Jalan Bungur Besar pada masa kolonial bernama Defensielejn van den Bosh, yaitu nama gubernur jenderal VOC dan garis pertahanan kota di bagian selatan.

Sumber : Alwi Shahab, wartawan Republika
http://koran.republika.co.id/berita/101623/Jembatan_Willem_di_Depan_Istiqlal 

Arsitektur Rumah Betawi

Sabtu, 23 Januari 2010




 “MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betawi di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat
berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya. Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian
menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah. Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.Ridwan mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi.Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. 


Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi