Jejak Kemayoran

Sabtu, 31 Oktober 2009


Menapak langkah Kemayoran di Batavia
Isaac de I' Ostale de Saint Martin, lahir tahun 1629 di Oleron, Bearn, Perancis memutuskan untuk membaktikan dirinya pada VOC. Dengan pangkat Mayor ia terlibat peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ketika VOC (kompeni) 'membantu' Mataram menghadapi Pangeran Trunujoyo. Bulan Maret 1682 ia ditugaskan pula untuk 'membantu' Sultan Haji menghadapi ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pengabdian panjang kepada VOC ini membawa Isaac de Saint Martin menjadi salah satu pemilik tanah (tuan tanah) yang sangat luas di Batavia, tersebar di beberapa tempat yang jumlahnya mencapai ribuan hektar.
Beberapa wilayah Kemayoran saat ini, sebagian kawasan Ancol, juga Krukut di Tegalangus, hingga Cinere ialah sebagian wilayah yang berada dalam kepemilikan Isaac. Selain penggunaan dalam pangkat militer, kata mayor juga digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada orang yang bertugas menarik pajak dan menjadi tuan tanah. Jabatan ini diberikan tidak hanya kepada orang Belanda, tetapi juga kepada orang Cina dan Arab.
Kelekatan Isaac Martin dan tuan tanah sesudahnya dengan pangkat Mayor, membuat wilayah tersebut sering disebut dengan Mayoran seperti yang tercantum dalam Plakaatboek (Van der Chijs XIV:536), dan sebuah iklan pada Java Government Gazette 24 Februari 1816. Wilayah tersebut kini kita kenal dengan nama Kemayoran, daerah setingkat kecamatan yang terletak di Ibukota meliputi delapan kelurahan.


Sunda Kalapa - Jayakarta - Batavia - Jakarta
Sejak zaman Neolithikum (batu baru) abad ke-10 SM lampau, di beberapa wilaya  h yang kini kita kenal dengan sebutan DKI telah muncul pemukiman-pemukiman awal. Ini dibuktikan dengan berbagai temuan alat kebudayaan dari batu yang tersebar di penjuru Jakarta dan sekitarnya. Alat-alat tersebut antara lain ditemukan di Kampung Sunter, Condet, Lenteng Agung, dan beberapa lokasi lain.
Memasuki zaman perunggu-besi yang diduga muncul sejak 500 tahun SM, pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Maka sejak abad-abad pertama Masehi, penduduk di pesisir Jakarta dan sekitarnya sudah berkenalan dengan para pendatang dari India. Hubungan pelayaran dan perdagangan internasional dengan bangsa-bangsa lain seperti India, Cina, dan bangsa Asia lainnya ini kemudian bertambah maju dibawah kerajaan Tarumanegara. Ini terlihat dari beberapa prasasti batu, seperti yang ditemui pada prasasti Tugu di Kampung Batutulis (sekarang termasuk wilayah Jakarta Utara). Bersama itu, pengaruh Hindu dan Buddha masuk melalui pedagang dan pendeta agama.
Setelah kerajaan Tarumanegara hilang dari catatan panggung sejarah, selama empat abad tidak diketahui dengan pasti sejauh mana pertumbuhan penduduk dan wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta ini. Baru pada abad ke-11 M diketahui terdapat Kerajaan Sunda, seperti terungkap dalam prasasti yang ditemukan di pinggir S. Citatih (Cibadak).
Daerah Jakarta sebagai kota bandar bermula dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Sunda dengan ibukota bernama Pakuan Pajajaran. Ini dikuatkan melalui beberapa catatan yang ada. Menurut catatan berita Tome Pires (1512-1515 M), Kerajaan Sunda dapat dicapai dua hari perjalanan dari Kalapa, yan  g merupakan salah satu bandar utama dan terpenting dari Kerajaan Sunda. Kota bandar Sunda Kalapa kemudian berkembang menjadi bandar internasional, bahkan pada tanggal 21 Agustus 1522 telah menjalin perjanjian perdagangan dengan Portugis.
Lima tahun kemudian, tepatnya 22 Juni 1527, kota bandar Sunda Kalapa jatuh ke tangan Islam dari Demak dibawah pimpinan Fatahillah atau Fadhillah Khan. Sejak itu nama Sunda Kalapa berubah menjadi Jayakarta. Tanggal tersebut, kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran kota Jakarta. Kota yang diberi nama Jayakarta ini dalam bahasa Jawa Kuno (Sansekerta) berarti 'telah membuat kemenangan'.
Sejak abad ke-16, seluruh kota-kota kerajaan daerah pesisir sudah berada di tangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada abad tersebut, para pedagang Eropa, Timur Tengah, Arabia, India, Asia Tenggara, Cina dan lain-lain makin ramai berkunjung ke kota Jayakarta. Bandar Jayakarta mulai didatangi orang-orang Belanda di akhir abad ke-16, ditandai oleh kedatangan Cornelis de Houtman pada tanggal 13 November 1596. Pangeran Jayakarta, penerus Fatahillah kemudian melakukan perjanjian dagang dengan pihak VOC (Vereniging Oost Indische Compagnie) yang diwakili oleh Jacquas l'Hermit dibawah pengawasan Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both pada tahun 1610.
Berdasarkan pemberitaan dalam babad atau Sejarah Banten, Jayakarta sebagai kota, intinya mempunyai wilayah kekuasaan : di sebelah barat Cisadane berbatasan dengan wilayah Kerajaan Banten; di sebelah timur sampai Citarum; di sebelah selatan berbatasan dengan daerah Bogor, di sebelah utara ialah Teluk Jakarta dengan pulau-pulaunya (Pulau Seribu).
Persilisihan wilayah Jayakarta dengan sekitarnya bisa dikatakan jarang terjadi. Kondisi ini mulai goyah sejak VOC dibawah JP Coen mendirikan loji dari batu yang dijadikan perbentengan kuat. Konflik berlanjut dengan peperangan, dan berakhir dengan jatuhnya Kota Jayakarta ke tangan VOC tanggal 30 Mei 1619. Sejak itu nama Jayakarta berganti menjadi Batavia. Nama ini dipilih untuk mengenang suku bangsa Germania, Batavir. Suku ini menghuni daerah di sekitar mulut sungai Rhein, dan dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Nama Batavia disahkan pada tahun 1620.
Sebagai kota bandar yang penting, pengembangan Jayakarta/Batavia dititik beratkan pada daerah sekitar pelabuhan. Pada mulanya pusat kota dan pengembangan fisik berada di kawasan Sunda Kelapa-Angke. Pusat kota di kawasan ini dipertahankan baik oleh Fatahillah, penerusnya, maupun pihak VOC.
Tahun 1712, VOC memindahkan pusat kota dan pemerintahan dengan mendirikan Balai Kota (Stadhuist) di kawasan yang sekarang kita sebut dengan Kota. Kawasan ini tumbuh dengan cepat, dan saat ini merupakan lokasi dimana bangunan-bangunan tua peninggalan Batavia lampau masih dapat dilihat. Sekitar tahun 1799 ketika kawasan Kota tidak lagi menunjang, pusat kekuasaan dipindahkan ke kawasan Parade Plaats, yang sekarang kita kenal dengan Lapangan Banteng/Medan Merdeka. Kemudian untuk mempertahankan fungsi sebagai kota bandar internasional, status pelabuhan utama dialihkan dari Sunda Kelapa ke pelabuhan baru yang lebih menunjang keadaannya, yaitu Tanjung Priuk pada tahun 1893.
Nama Batavia bertahan selama tiga setengah abad hingga 10 Desember 1942 ketika kekuasaan Belanda berakhir dengan masuknya tentara pendudukan Jepang. Pada masa gencar-gencarnya usaha pemerintah Jepang menghancurkan pengaruh Eropa, segala yang berbau Eropa dilarang. Nama Batavia pun diganti lagi dan bertahan hingga sekarang dengan sebutan Jakarta.


Kemayoran dari Masa ke Masa
Walaupun secara administratif kota Batavia membentang hingga Tangerang-Bogor, namun pengembangan fisik masih terbatas pada kawasan sekitar pusat kota dan pelabuhan. Keterbatasan pengembangan ini antara lain disebabkan keadaan Batavia yang dikelilingi tembok kota dan benteng-benteng pertahanan karena banyaknya serangan untuk merebut Batavia, juga sentralisasi sistem pemerintahan. Benteng dan tembok kota baru dirubuhkan tahun 1810 pada masa pemerintahan Daendels. Sementara itu wilayah pedalaman dan pinggiran kota Batavia masih belum banyak 'tersentuh' dan tetap berupa perkampungan pribumi. Beberapa diantaranya kemudian dikuasai oleh tuan tanah, salah satunya ialah kawasan Kemayoran.
Meski keberadaan kampung dan penduduknya mungkin sudah ada sejak masa lampau, namun sebagai bagian kota Jakarta, nama dan wilayah Kemayoran baru dikenal pada masa VOC sekitar abad ke-18. Wilayah Kemayoran hingga awal abad ke-20 masih didominasi oleh rawa dan persawahan dengan beberapa titik pemukiman yang menjadi kampung.
Secara wilayah kepemerintahan, pada masa pemerintahan Belanda, Kemayoran merupakan sebuah Weekmeester yang dipimpin oleh seorang Bek. Setelah kemerdekaan, Kemayoran menjadi bagian dari wilayah kecamatan Sawah Besar, Penjaringan - Jakarta Raya. Tahun 1963 - 1968, Kemayoran dimasukkan ke dalam wilayah kecamatan Senen, Jakarta Raya. Lalu sejak tahun 1968 hingga sekarang, Kemayoran menjadi wilayah Kecamatan dari kotamadya Jakarta Pusat.
Pada mulanya penduduk Kampung Kemayoran ialah penduduk asli yang berasal dari campuran kelompok etnik kerajaan Pajajaran, Demak, Mataram, dan beberapa bangsa asing yang tiba sebagai pendatang. Setelah dikuasai Belanda, mulai muncul para pendatang dari Cina, India, Sumatera, dan Indonesia bagian Timur yang dijadikan pekerja dalam ekspansi dan pembangunan Batavia berupa pembuatan jalan, parit-parit, atau ikut dalam wajib militer menghadapi Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Agung dari Mataram.
Dibawah pemerintahan Daendels, dalam usaha pembuatan jalan Anyer-Panarukan yang membutuhkan banyak dana pembangunan. Daendels menjual tanah yang dikuasai pemerintah kepada orang-orang kaya. Hal semacam itu terjadi pula pada tanah di Kemayoran. Umumnya pembeli berasal dari golongan Belanda, Cina dan Arab. Diantaranya ialah Rusendal, H. Husein Madani (Indo-Belanda), Abdullah, dan De Groof.
Tuan tanah memiliki kekuasaan untuk mengatur tanah dari penggunanya yang merupakan budak belian dan penduduk pribumi. Setelah perbudakan dihapus mereka menjadi petani milik tuan tanah, dan umumnya tuan tanah akan menentukan besar pajak yang harus dibayar.
Pajak yang ditarik pada waktu itu ada dua macam, yaitu pajak tempat tinggal dan pajak penggarap sawah hasil bumi. Untuk pajak tempat tinggal ditarik tiap bulan sebesar satu picis. Sedangkan untuk penghasilan dibagi tiga, dengan perincian petani penggarap 25%, tuan tanah 45%, dan mandor 30%, disamping itu penggarap masih harus memberikan sebagian hasil mereka pada mandor.
Sampai dengan tahun 1903, Batavia masih dibawah pemerintahan langsung atau terpusat (sentralisasi). Baru pada awal abad ke-20 tersebut diterapkan desentralisasi yang menandakan berkembangnya Batavia menjadi kota kolonial modern. Wujud penanganan baru ini dapat dilihat pada perbaikan dan pengaspalan jalan, perluasan penerangan jalan, pembangunan pasar-pasar baru, penyediaan air bersih, pembangunan terusan banjir (bandjir kanaal), dan terutama perluasan kota.
Untuk perluasan kota, kotapraja mulai membeli tanah dari kampung-kampung di dan sekitar Batavia, yang kemudian dijadikan hak milik pribadi. Pada mulanya penduduk kampung disingkirkan untuk menyediakan tempat bagi bangunan baru. Namun karena justru menimbulkan persoalan baru pemukiman penduduk di kampung-kampung, maka dilakukanlah upaya perbaikan kampung. Di bidang tanah yang baru dibeli, dibangun daerah pemukiman untuk berbagai kelompok yang datang. Untuk pendatang yang kurang mampu dibangun rumah-rumah lebih kecil dan berdempetan. Kemayoran, bersama dengan kampung-kampung seperti Petojo, Jatibaru, Cideng, Kramat, dan Tanah Tinggi ialah daerah yang dialokasikan untuk pendatang baru kelas menengah-bawah. Sedang untuk warga yang lebih berada. dibangun daerah Menteng dan Gondangdia yang mirip dengan kota kebun Belanda.
Berbagai pendatang yang tiba di Kemayoran ini diantaranya berasal dari golongan Indo (campuran Belanda dan Indonesia) yang tinggal di Jl. Garuda. Bahkan setelah PD II banyak bekas tentara Belanda menetap di Kemayoran. Sekitar tahun 1930-an, Kemayoran pun terkenal sebagai pemukiman kaum Indo-Belanda, sehingga muncul sebutan Belanda Kemayoran. Setelah Indonesia merdeka, gelombang pendatang kaum urban tiba di Kemayoran dan Jakarta dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, NTT, dan NTB.
Hadirnya berbagai pendatang dengan latar belakang kebudayaan dan pendidikan yang berbeda membawa pengaruh positif terhadap penduduk Kemayoran. Semula para pendatang dipandang negatif karena anggapan berasal dari golongan orang susah. Namun dengan adanya komunikasi diantara mereka, anggapan tersebut mulai berubah. Bahkan penduduk asli mulai terpengaruh untuk bekerja keras demi kesejahteraan keluarganya.
Berubahnya Kemayoran menjadi pemukiman yang lebih ramai, dan dibukanya Bandara Kemayoran tahun 1935 membuat banyak diantara penduduknya mengalihkan mata pencaharian dari petani ke usaha-usaha lain seperti pedagang alat rumah tangga, pedagang keliling, buruh pabrik, perbengkelan, dan sebagainya.
Difungsikannya bandara juga yang menyebabkan wilayah Kemayoran kurang berkembang dari sisi pembangunan fisik dan ekonomi. Sebagai wilayah yang digunakan untuk lapangan udara, kawasan Kemayoran dan sekitarnya praktis tidak boleh didirikan bangunan tinggi. Meski tidak jauh dari pusat kota Jakarta di Parade Plaats (Medan Merdeka), namun Kemayoran tidak berkembang sebagai kawasan pusat perekonomian dan bisnis. Selain itu, rencana pengembangan kota Jakarta memang lebih diberatkan ke arah selatan pusat kota. Wilayah Kemayoran, selain sebagai bandar udara, memiliki fungsi sebagai kawasan pemukiman penduduk Jakarta.
Hingga pertengahan tahun 1980-an, masih banyak lahan kosong berupa   lapangan, dan kebun di wilayah kecamatan Kemayoran. Jarak antar rumah cukup jauh, dan tersebar di beberapa kampung. Jaringan jalan yang ada, juga masih banyak yang berupa tanah. Kondisi kampung yang 'masih asli' dan belum banyak sentuhan metropolis ini menyebabkan berbagai budaya dan kesenian yang berkembang di wilayah ini cukup terpelihara.
Setelah ditutupnya bandara Kemayoran, kawasan Kemayoran yang tadinya diperuntukkan sebagai bandara dan pemukiman kelas menengah-bawah, mulai beralih fungsi. Eks bandara Kemayoran, kemudian digunakan sebagai arena Pekan Raya Jakarta yang berlangsung tahunan dan berpotensi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi. Pemukiman elit dengan nama Kotabaru Kemayoran juga dibangun di kawasan bekas bandara ini. Gedung-gedung tinggi kini dapat dibangun setelah Kemayoran tidak lagi memiliki bandara, sehingga Kemayoran berkembang menjadi pusat bisnis dan kegiatan ekonomi baru di Jakarta.
Perubahan-perubahan ini dengan sendirinya mengubah wajah Kemayoran menjadi kota yang lebih metropolis. Konsekuensinya, nilai-nilai budaya khas betawi yang ada di Kemayoran perlahan memudar seiring dengan semakin metropolisnya Jakarta, dan semakin padatnya pemukiman.


Legenda di Masyarakat
Tekanan-tekanan berupa pajak besar dan kerja paksa (rodi) yang diterapkan pada masa penjajahan oleh kompeni (VOC) seakan masih belum cukup menyusahkan rakyat. Sulitnya keadaan ekonomi membuat banyak jagoan-jagoan silat melakukan tindakan kriminal dengan merampok, atau mengabdi pada VOC dan menyalahgunakan jabatannya untuk mengintimidasi warga.
Salah satu cerita yang berkembang menjadi legenda di daerah Kemayoran ialah keberadaan Murtado, Si Macan Kemayoran. Murtado, pemuda jago silat yang tinggal di kampung daerah Kemayoran ini menentang centeng-centeng dan jagoan lokal yang menindas warga.
Keberpihakan Murtado pada rakyat digambarkan pada episode saat Murtado melawan jagoan kampung di acara panen padi. Ketika itu Mandor Bacan, jagoan yang mengabdi pada VOC mengintimidasi warga yang menghitung hasil panen. Seorang gadis yang mengikat padi hasil panenan, diancam dan dipermainkan oleh Mandor Bacan. Ia menuduh gadis tersebut berlaku curang dengan membuat ikatan padi terlalu besar dan tidak imbang pembagiannya. Intimidasi Mandor Bacan menyulut kemarahan Murtado, terjadilah perkelahian antara mereka, dan ternyata Mandor Bacan tidak sanggup melawan Murtado.
Mandor Bacan meminta bantuan Bek Lihun, jagoan kampung lainnya yang mengabdi pada VOC. Namun, meski melawan dua orang, Murtado masih sanggup menga-lahkan mereka. Permusuhan terus berlanjut hingga akhirnya Bek Lihun dan Mandor Bacan yang merasa tidak sanggup mengatasi Murtado menghentikan teror dan intimidasi mereka pada warga.


Bandara Kemayoran
Landasan Bandara Kemayoran mulai dibangun tahun 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda, dan diresmikan tanggal 8 Juli 1940 sebagai lapangan terbang internasional. Bandara dikelola oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). DC-3 milik KNILM yang terbang dari lapangan udara Tjililitan (sekarang Halim PK), menjadi pesawat pertama yang mendarat di bandara Kemayoran dua hari sebelum peresmian. Pesawat sejenis, yakni DC-3 juga yang pertama bertolak dari Kemayoran menuju Australia sehari kemudian.
Airshow pertama diselenggarakan bertepatan dengan hari ulang tahun Raja Belanda, 31 Agustus 1940. Selain digelar pesawat-pesawat milik KNILM, pesawat-pesawat pribadi dari Aeroclub di Batavia juga meramaikannya. Ada Buckmeister Bu-131, Jungmann, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper Cub, dan pesawat Walraven W-2 yang pernah melakukan penerbangan Batavia-Amsterdam pada 27 September 1935.
Saat perang Asia Pasifik berkecamuk, bandara Kemayoran tak luput dari serangan pesawat-pesawat terbang Jepang. Tanggal 9 Februari 1942, dua DC-5, dua Brewster dan sebuah F-VII terkena serangan hingga beberapa pesawat KNILM terpaksa diungsikan ke Australia.
Saat Jepang berkuasa (1942-1945), pesawat-pesawat buatan Jepang mengisi Kemayoran. Pesawat pertama yang mendarat ialah pesawat tempur Mitsubishi A6M2 Zeke, lebih dikenal dengan nama Navy-0 atau Zero. Setelah Jepang menyerah, giliran pesawat-pesawat Sekutu yang datang ke Kemayoran, seperti Supermarine Spitfire, B-25 Mitchell, dan P-51 Mustang. Selain itu berdatangan pula pesawat-pesawat lain, diantaranya DC-4/C-54 Skymaster, DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, dan Lockheed Constelation.
Setelah masa perjuangan kemerdekaan, berdiri Garuda Indonesian Airways. Dengan hadirnya Garuda, pesawat-pesawat modern saat itu hadir di Kemayoran. Era penerbangan sipil modern tahun 1950-an ditandai dengan beroperasinya pesawat bermesin jet. Pada masa itu, pesawat-pesawat turboprop berdatangan ke Kemayoran, antara lain Saab 91 Safir, Grumman Albatros, Ilyushin Il-14, Cessna, juga pesawat-pesawat buatan Nurtanio, seperti NU-200 Sikumbang, Belalang, dan Kunang. Berbagai Kepala Negara dunia juga pernah menginjakkan kakinya di Bandara Kemayoran dengan diselenggarakannya even tingkat internasional seperti Konfrensi Asia Afrika pada era Soekarno.
Militer Indonesia, AURI (kini TNI AU) juga memanfaatkan Bandara Kemayoran. Akhir tahun 50-an sampai awal 60-an berdatangan pesawat MiG-17, MiG-15 UTI, dan MiG-19. Pesawat pembom Ilyushin Il-28 juga turut meramaikan bandara.
Memasuki tahun 70-an, era pesawat jet badan lebar berteknologi canggih muncul, yakni B-747, L-1011, DC-10, dan Airbus. Pada 29 Oktober 1973, pesawat DC-10 milik KLM yang disewa Garuda untuk angkutan jemaah haji, tercatat sebagai pesawat terbesar dan terberat yang pernah singgah di bandara Kemayoran.
Kesibukan bandara tahun 1970-an memaksa pemerintah membuka Halim Perdanakusuma sebagai bandara internasional pada 10 Januari 1974, sedang penerbangan domestik seluruhnya masih bertempat di Kemayoran.
Beberapa pesawat pernah mengalami naasnya di Kemayoran. Sebuah Beechcraft pernah mengalami musibah saat mendarat. Pesawat lain, Convair 340 mendarat tanpa roda, DC-9 mengalami patah badan pesawat di landasan, terbakarnya pesawat DC-3, serta yang terdahsyat, kecelakaan Fokker F-27 yang menyebabkan seluruh awaknya meninggal.
Hingga hari-hari terakhir beroperasi, 31 Maret 1985, masih terdapat beberapa pesawat yang dulu hadir saat peresmian bandara. Sebelumnya, tahun 1984, Kemayoran menyisakan satu kenangan. Pesawat DC-2 Uiver dalam lawatannya mengenang 50 tahun terbang legendaris rally udara London-Melbourne tahun 1934, singgah untuk mengisi bahan bakar di Kemayoran. Pesawat DC-3 Dakota, menjadi pesawat terakhir yang meninggalkan Bandara Kemayoran sebelum ditutup.
Bulan-bulan pertama sejak bandara ditutup dan pindah ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, suasana bandara masih tampak hidup walau tanpa aktivitas penerbangan. Bandara Kemayoran masih dipakai sebagai arena IAS tahun 1986.
Kini, eks Bandara Kemayoran berubah menjadi kompleks Pekan Raya Jakarta, dan Kotabaru Kemayoran. Meski demikian, saat ini bangunan yang dulunya digunakan untuk terminal dan ruang tunggu penumpang bandara masih berdiri walau nampak tidak terurus. Di bandara juga masih terdapat menara pengawas udara, yang menjadi sisa peninggalan kejayaan bandara dengan menara pengawas lalu-lintas udara pertama di Indonesia.


Keroncong Kemayoran dan Seni Budaya Lainnya
Berbagai seni budaya daerah, baik yang khas Betawi maupun serapan dari etnis lain, banyak berkembang di kampung Kemayoran. Diantaranya ialah keroncong, contohnya petikan lirik berikut :


Ani-ani bukannya waja
Memotong padi di gunung
Saya menyanyi bukan sengaja
Menghibur hati nan bingung


Reff: Olele di Kotaraja
Bole enggak boleh
Dibawa saja


Sepenggal lagu keroncong itu menjadi simbol kebanggaan penduduk Kemayoran, kampungnya musik keroncong yang terkenal pada masa Hindia Belanda. Syairnya tidak terikat pada suatu cerita bersambung, melainkan pantun-pantun lepas yang diingat secara improvisasi tatkala bernyanyi, dan kadang-kadang tidak ada kaitan dialog satu sama lainnya, asalkan efek pantun mengenai sasaran dengan sindiran lucu, gembira, tapi tidak menyinggung perasaan lawan bernyanyi.
Keroncong Tugu banyak mendapat pengaruh Portugis dan berkembang menjadi keroncong asli Kemayoran. Sekitar tahun 1920-1925 berdiri orkes keroncong Oud Batavia (lief de Java) yang disponsori orang Belanda dengan para pemainnya campuran orang Belanda dan Indonesia. Mereka memodernkan musik keroncong asal Tugu dengan irama musik Jazz Band, walaupun begitu irama keroncongnya tetap ada dan lagu-lagunya juga lagu Indonesia. Peralatannya ditambah dengan gitar, melodi, ukulele (cuk), bass, dan seruling. Penyanyinya ialah Amri Landaw dan Leo Spel.
Orkes ini kemudian berkembang menjadi keroncong asli Jakarta, salah satu diantaranya ialah Keroncong Kemayoran dari daerah Kepu, pimpinan M. Sagi (sering dieja dengan M. Sjaugi). M. Sagi juga yang mempopulerkan lagu rakyat Jali-jali melalui kemampuannya bermain biola yang tak ada tanding saat itu di tahun 1942, menyebabkan lagu ini menjadi lagu rakyat Betawi.
Orkes keroncong Kemayoran untuk pertama kalinya tampil di muka umum tahun 1922. Mereka selalu mendapat panggilan dari orang-orang Belanda atau Cina yang kaya untuk memeriahkan pesta perkawinan atau pesta ulang tahun. Selain itu, mereka tidak ketinggalan pula mengikuti perlombaan orkes keroncong yang diadakan tiap tahun di pasar malam Gambir.
Kelompok-kelompok orkes keroncong yang ada di daerah Kemayoran selain orkes Keroncong Kemayoran sendiri diantaranya ialah orkes Keroncong Fajar (1929), orkes keroncong Sinar Betawi, dan orkes keroncong Suara Kemayoran (1957). Mereka tampil dengan memakai pakaian seragam khas Betawi, yaitu jas tutup dan kain batik.
Tidak hanya keroncong yang digemari masyarakat saat itu, tetapi juga Robana Gembrung, Wayang Kulit, Tanjidor, Cokek (Cokek Ken Bun), orkes Gambus, dan Gambang. Kesenian ini terutama berkembang pesat di awal abad ke-20, dan mulai meredup kehilangan penggemarnya sejak tahun 1970-an.
Musik Gambang yang berkembang di Kemayoran mendapat pengaruh dari Cina,  tetapi irama dan lagunya berdialek Jakarta. Musik ini sering disebut Gambang Kemayoran dan tidak disebut dengan Gambang Kromong karena alat musik kromong tidak digunakan. Lagu-lagu yang digemari saat itu diantaranya Onde-onde, Si Jongkong Kopyor, dan Kapal Karem.
Adapun Wayang Kulit berasal dari pengaruh Jawa. Ceritanya diambil dari epos Mahabharata dan Ramayana, walaupun begitu bahasa yang dipakai dalang dalam pertunjukkan wayang ialah bahasa Betawi. Wayang kulit Betawi yang terkenal di daerah Kemayoran ialah pimpinan Bapak Bagong yang tinggal di Kebon Kosong. Wayang Kulit biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan, sunatan, ruwatan, atau pesta tahun baru yang diselenggarakan oleh tuan tanah di Gedung Tinggi Kemayoran. Kesenian ini banyak dinikmati pada masa kolonial hingga awal pergerakan kemerdekaan.


Seni pertunjukkan teater, sandiwara, tonil, atau Der Muluk juga merupakan hiburan yang dapat dinikmati oleh rakyat. Salah satu cerita Der Muluk yang sangat disukai masyarakat Kemayoran ialah cerita Indra Bangsawan dan Jin Afrit. Setelah masa kemerdekaan, seni pertunjukan semacam teater dapat dinikmati warga Kemayoran di Gedung (Kesenian) Miss Tjitjih. Di tahun 80-an, bemo dari gedung Miss Tjitjih keliling kampung untuk mempromosikan acara pertunjukkan yang akan digelar sambil menyebarkan brosur.
Salah satu tokoh seniman Betawi Kemayoran yang populer dari seni suara dan pertunjukkan ialah Alm. Benyamin Suaeb. Berangkat dari kemampuan bermain lenong, gambang, keroncong, dan teater, Bang Ben, panggilan akrab Alm Benyamin S, kemudian populer sebagai penyanyi gambang dan lagu Betawi lainnya. Beliau juga dikenal sebagai aktor dan komedian ulung yang menjadi kebanggaan bangsa.
Selain seni musik dan hiburan, seni (olahraga) pencak silat, yang merupakan warisan leluhur juga mendapat tempat di hati masyarakat Betawi. Cabang/aliran pencak silat yang berkembang di masyarakat Betawi Kemayoran ialah Beksi, Dingkrik, Si tembak, Sin lam ba, dan Kolong meja. Hingga akhir 80-an, berlatih silat selepas waktu ba’da sholat Isya merupakan hal yang lumrah dilakukan bagi anak-anak muda. Sebelum itu, biasanya mereka mengaji bersama.
Adat-adat upacara seperti penganten dan penganten sunat, secara tradisional Betawi biasanya dirayakan dengan arak-arakan keliling kampung. Penganten biasanya nangkring di atas kuda. Di belakang sang penganten, sado, delman dan ondel-ondel turut mengiringi.
Upacara kematian pada warga Cina Betawi di kampung Kemayoran juga menjadi sebuah acara ramai yang ditunggu anak-anak. Berangkat dari rumah duka menuju tempat penyimpanan abu dengan menggunakan mobil, kendaraan ini berjalan pelan keliling kampung sambil menyebarkan uang recehan yang diperebutkan oleh anak-anak.
Hingga akhir 80-an, banyak dari seni budaya tradisional Betawi khas Kemayoran ini masih dapat dijumpai, namun kini budaya tradisional khas itu perlahan menghilang dari masyarakat.
Soekarno, presiden pertama RI pernah berkata, “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Walaupun masa lalu Kampung dan wilayah Kemayoran kini tinggal kenangan. Namun peninggalan nilai-nilai baik dari seni, budaya, dan adat yang diwariskan tak boleh dilupakan.


Asal Usul Orang Betawi
Orang Betawi, menurut penelitian Milone dalam disertasinya Queen of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital, menyebutkan orang Betawi terbentuk dari beberapa kelompok etnik yang percampurannya dimulai sejak zaman kerajaan Sunda, Pajajaran, dan pengaruh Jawa yang ditandai dengan ekspansi Kerajaan Demak.
Percampuran etnik tersebut berlanjut dengan masuknya pendatang dari Cina, India, Sumatera, Indonesia bagian Timur, serta bangsa asing yang banyak masuk setelah abad ke-16 akibat berfungsinya Sunda Kelapa sebagai bandar internasional, dan pengaruh VOC.
Perkawinan campur penduduk yang berawal dari keturunan kerajaan Pajajaran atau Demak dengan berbagai suku bangsa pendatang ini, pada akhirnya menimbulkan satu etnik baru yang tidak termasuk salah satu kelompok etnik daerah Batavia dan sekitarnya di akhir abad ke-19. Kelompok etnik yang muncul inilah yang kemudian menjadi orang Betawi, dengan beberapa variasi budaya di beberapa tempat. Secara resmi, kelompok etnik ini baru memperkenalkan dirinya melalui organisasi pemuda yang didirikan pada tahun 1923, Perkoempoelan (Organisasi) Kaoem Betawi yang dipelopori oleh Mohammad Husni Thamrin.


Sumber : Fadli Arfan
Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Jurnal Kemayoran
Edisi 1, Maret 2009

Mohammad Husni Thamrin

Selasa, 27 Oktober 2009


Politikus yang Santun


Pahlawan Nasional Mohammad Husni Thamrin, telah banyak berjasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Termasuk jasa-jasanya ikut merintis ikatan persatuan dan kesatuan di antara anak bangsa agar tidak terpecah belah. Jejak langkah putra terbaik bangsa ini perlu dijadikan suri teladan bagi generasi penerus masa kini. 
Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah bupati. 
Ia masuk sekolah Belanda, fasih berbahasa ini, mampu berdebat dengan baik. Memulai karier sebagai pegawai magang di Residen Batavia dan pegawai klerk di perusahaan pelayaran KPM, MH Thamrin duduk di Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941) lalu di Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941). 
Pengarang Pramudya Ananta Toer memiliki berbagai dokumen tentang MH Thamrin karena istrinya adalah keponakan dari tokoh Betawi itu.


Dua modus perjuangan


Perjuangan melawan Belanda dilakukan kaum pergerakan dengan dua modus, yaitu bersedia bekerja sama dengan pihak kolonial atau tidak. Bila dwitunggal Soekarno-Hatta disebut perpaduan Jawa-luar Jawa serta gabungan orator ulung dengan administrator andal, pasangan Thamrin-Soekarno dilihat sejarawan Bob Hering sebagai paduan modus perjuangan secara kooperatif dengan nonkooperatif. 
Selama ini kata "kooperatif" memiliki konotasi kurang positif. Orang lebih menghargai tokoh yang berjuang secara non-koo. Namun, kedua jalur itu saling melengkapi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Bahkan dari tahun 1933 sampai 1942 saat pergerakan Soekarno-Hatta-Sjahrir terkesan mandek, justru Thamrin tetap bergerak dengan bersemangat di Volksraad. 
Thamrin sering disebut satu napas dengan Bung Karno. Ia hadir saat Soekarno diadili, kala dijebloskan ke penjara, saat Bung Karno dibuang ke Ende. Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan rumah justru setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya. Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) kelompok pergerakan yang kooperatif dan nonkooperatif, juga antara kelompok pergerakan dengan Volksraad. 
Bila Bung Karno berpidato soal makro, seperti falsafah dan ideologi negara, Thamrin menukik kepada persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa perumahan elite Menteng yang diprioritaskan pembangunannya, sedangkan kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat. Ia berbicara tentang pajak dan sewa tanah. 
Bersama anggota lain di Volksraad, Thamrin mempertanyakan anggaran pertanian yang hanya 57 juta gulden, sedangkan angkatan darat, laut, dan polisi 174 juta gulden. 
Ia sering kalah dalam pemungutan suara, tetapi tetap mengajukan mosi bila ada aturan Pemerintah Hindia Belanda yang merugikan perjuangan kaum pergerakan. Thamrin memang kooperatif, tapi tidak berdasar loyalitas Belanda. Ia tahu persis bagaimana beroposisi secara santun. Kaum Betawi yang didirikan tidak begitu berkembang. Walau tanpa organisasi politik, ia mampu meniti karier politik di Dewan Rakyat. 
Thamrin bukanlah kooperatif tanpa reserve. Ia memiliki prinsip, sebagai tercermin dalam pernyataannya "Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan." (Handelingen Volkraad, 1931-1932) 
Menurut surat kabar Bintang Timur (15/07/1933), Thamrin adalah kampiun kaum nasionalis di Volksraad yang tak diragukan, yang berani mengingatkan pemerintah dalam banyak isu penting. Koran Adil 17 Juli 1933 mengungkapkan, Thamrin selalu menyampaikan pidato dengan argumen yang tepat, yang membuat darah tukang lobi anti-Indonesia Merdeka, seperti Fruin dan Zentgraaff jadi mendidih. 
Thamrin menggunakan kesempatan secara brilian untuk menarik perhatian sungguh-sungguh terhadap apa yang "sebenarnya hidup dalam kalbu pergerakan seluruhnya". Thamrin berbicara tentang kebenaran dan melakukan pekerjaan sepenuh hati dalam situasi begitu sulit bagi pergerakan. Dalam berdebat yang penting argumen kuat, Thamrin sendiri tidak pernah menggunakan kata-kata tajam dan keras. 
Ada sebuah pernyataan MH Thamrin yang disampaikan 70 tahun silam, namun masih terasa kebenarannya sampai sekarang meski pemerintah telah gonta-ganti: "Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (Handelingen Volksraad, 1930-1931).


Tak kibarkan bendera Belanda 


Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940. 
Dalam suatu kesempatan, ia juga mempelesetkan JINTAN, obat kumur murah buatan Jepang, menjadi "Jenderal Japan Ini Nanti Toeloeng Anak Negeri". Selain itu, tokoh Jepang Kobajashi dipanjangkan menjadi "Koloni Orang Belanda akan Japan Ambil Seantero Indonesia". Ia dikenai tahanan rumah karena dianggap tidak setia kepada Belanda dan main mata dengan pihak Jepang. 
Di rumahnya di jalan Sawah Besar No 32, Thamrin muntah-muntah dan demam mungkin karena gangguan ginjal, kecapaian dan malaria. Istrinya meminta polisi agar mengizinkan kunjungan dokternya. Akhirnya sang dokter datang, tetapi sudah terlambat, tanggal 10 Januari 1941, suhu badan Thamrin sangat tinggi dan ia hampir tidak bisa bicara. Dokter memberi suntikan untuk menurunkan panasnya, namun penyakitnya tidak tertolong lagi, esok subuh ia meninggal. 
Pada hari pemakamannya, dari rumahnya di Sawah Besar sampai ke kuburan Karet, lebih dari 20.000 orang mengantarkan jenazah tokoh Betawi itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. 
Muhammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pelajarannya di Koning Williem II, sejenis SMA ia kemudian bekerja di kantor kepatihan. 
Karena prestasinya baik, maka ia dipindahkan ke Kantor Karesidenan dan terakhir ke perusahan pelayaran Koninglijke Paketvaart (KPM) Pada tahun 1927 ia diangkat sebagai anggota Volksraad. Ia membentuk Fraksi Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan tersebut. 
Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea. 
Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta. 


 Sumber: Asvi Warman Adam 
Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Benyamin Sueb

Minggu, 25 Oktober 2009



Benyamin Sueb (lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939 – meninggal 5 September 1995 pada umur 56 tahun) adalah pemeran, pelawak, sutradara dan penyanyi Indonesia. Benyamin menghasilkan lebih dari 75 album musik dan 53 judul film.


Awal karir
Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.


Duet dengan Ida Royani
Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.


Gambang kromong
Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu.
Setelah Orde Lama tumbang, yang ditandai dengan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jatidirinya. Lagu seperti Si Jampang (1969) sukses di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel-Ondel (1971).
Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Mleduk, Tukang Garem, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran. Terlebih setelah Bang Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.


Paska duet dengan Ida Royani
Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia tahun 1972, Bang Ben mencari pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Koesoemawati dan berhasil merilis beberapa album, di antaranya "Nenamu" dengan tembang andalan seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru dan Pelajan Toko.


Dunia film
Lewat popularitas di dunia musik, Benyamin mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Berduri serta Si Doel Anak Modern (1976) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya. Dalam Intan Berduri, Benyamin mendapatkan piala Citra sebagai Pemeran Utama Terbaik.


Akhir karir
Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Rock Al-Haj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.


Kontribusi terhadap gambang kromong
Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular. Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karir musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.


Meninggal dunia
Benyamin yang telah empat belas kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia setelah koma beberapa hari seusai main sepak bola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Benyamin dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Ini dilakukan sesuai wasiat yang dituliskannya, agar dia dimakamkan bersebelahan dengan makam Bing Slamet yang dia anggap sebagai guru, teman, dan sosok yang sangat mempengaruhi hidupnya.


Pendidikan
Sekolah Rakyat Bendungan Jago Jakarta (1946-1951), SD Santo Yosef Bandung (1951-1952)
SMPN Taman Madya Cikini, Jakarta (1955)
SMA Taman Siswa, Jakarta (1958)
Akademi Bank Jakarta (Tidak tamat) ; Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan & Ketatalaksanaan (1960)
Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960)
Kursus Lembaga Administrasi Negara (1964)


Karir
Kondektur PPD (1959)
Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960)
Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1968)
Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969)
Produser dan Sutradara PT Jiung -Film (1974-1979)


Penghargaan
Piala Citra 1973 dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidy, 1972) bersama Rima Melati
Piala Citra 1975 dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975)
Jalan Landas Pacu Kemayoran diubah menjadi namanya. Hal ini menyebabkan nama Jalan atas namanya lebih panjang daripada nama Jalan Engkongnya Haji Ung.


Keluarga
Benyamin menikah dua kali. Pertama dengan Nonnie pada tahun 1959 (kemudian bercerai pada tanggal 7 Juli 1979 namun rujuk kembali pada tahun yang sama). Hj. Nonnie memberinya lima anak:
Beib Habbani
Bob Benito
Biem Triani
Beno Rahmat
Beni Pandawa


Sedangkan anak - anak dari isteri kedua, Alfiah, adalah :
Bayi Nurhayati
Billy Sabila
Bianca Belladina
Belinda Syahadati


Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia

 
 
 
 
Copyright © Situs Betawi